"Seharusnya Pemerintah juga menyasar pekerja seperti ini karena banyak pekerja formal ini yang memang terdampak PPKM Darurat/Level 4 dan 3. Logika berpikir Pemerintah aneh, pekerja formal yang diberikan BSU adalah pekerja dengan status aktif, yang artinya pekerja tersebut masih membayar iuran karena masih mendapatkan upah. Kenapa yang dibantu justru yang masih mendapatkan upah, bukan membantu pekerja yang upahnya dipotong atau pekerja yang diPHK karena PPKM Darurat ini?," imbuh Timboel.
Namanya “bantuan”, lanjut dia, seharusnya diberikan kepada yang benar-benar memerlukan bantuan, bukan pekerja formal yang masih dapat upah normal dari pemberi kerja malah mendapatkan BSU. Ini ketidakadilan kasat mata.
Seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mendata pekerja yang benar-benar terdampak sehingga BSU bisa tepat sasaran. "Saya kira tidak terlalu sulit mencari pekerja yang terdampak, bila memang Kemnaker dan dinas tenaga kerja (disnaker) Propinsi/Kabupaten/Kota mau datang dan berkomunikasi dengan perusahaan. Demikian juga Kemnaker membuka pendaftaran bagi pekerja yang terdampak di masing-masing disnaker yang nanti akan diperiksa kebenarannya," terang Timboel.
Selain mendapatkan pekerja yang memang terdampak, pendataan ini pun akan mendukung kualitas data di Sisnaker yang dikelola Kemnaker.
"Bukankah ada UU No. 7 tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan, yang seharusnya menjadi sumber data bagi program BSU ini. Tapi faktanya Sisnaker tidak mampu menyediakan data untuk BSU. Sungguh ironis memang, sejak tahun 1981 sudah ada UU Wajib Lapor Ketenagakerjaan tetapi Kemnaker tidak punya data," keluhnya.