IDXChannel - Jagat maya kembali dihebohkan dengan perseteruan antara netizen dengan brand minuman kekinian ternama, PT Es Teh Indonesia.
Seperti yang tersebar luas di platform sosial media, PT Es Teh Indonesia dikabarkan telah melayangkan somasi ke salah satu pelanggannya karena memberikan kritik ke salah satu minuman Es Teh Indonesia. Pelanggannya memberikan kritik melalui tweet di twitter.
Es Teh Indonesia mengklaim kritik pelanggan tersebut tidak objektif dan berunsur menghina. Oleh karena itu, Es Teh Indonesia melakukan somasi dan meminta orang tersebut menghapus tweet nya dan memberikan klarifikasi terkait pernyataannya paling lambat 2x24 jam.
Sesudah menerima somasi itu, pelanggan tersebut kemudian meminta maaf dan menghapus tweet nya yang berisi kritik terhadap kandungan gula minuman Es Teh Indonesia. Ia mengaku perbuatannya telah menyebabkan kerugian Es Teh Indonesia. Karena kasus somasi tersebut orang menjadi penasaran dengan Es Teh Indonesia.
Dampak dari adanya pemberitaan tersebut, wacana minuman berpemanis menjadi isu yang intensif dibicarakan baru-baru ini. Salah satu aspek yang dibahas adalah pentingnya cukai diberlakukan untuk minuman jenis ini
Gula Sama Jahatnya dengan Alkohol
Minuman berpemanis sama jahatnya dengan alkohol, jika dikonsumsi berlebihan setiap harinya. Menurut data dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), masyarakat Indonesia mengkonsumsi 780 juta liter minuman berpemanis dalam kemasan di tahun 2014.
Angka ini setara dengan volume air 312 kolam renang ukuran olimpiade. Bahkan angka ini meningkat 15 kali lipat dari yang sebelumnya 51 juta liter pada tahun 1996.
Sementara, menurut American Heart Association (AHA), jumlah maksimum gula yang dikonsumsi dalam sehari untuk pria adalah 150 kalori per hari, setara 37,5 gram atau 9 sendok teh dan 100 kalori per hari untuk wanita, setara 25 gram atau 6 sendok teh.
Dalam sekaleng minuman bersoda biasanya mengandung 140 kalori dari gula, sementara Snickers ukuran biasa mengandung 120 kalori dari gula. Jika kalori yang dihasilkan dari makan 2.000 kalori per hari, jumlah ini sama dengan 50 gram gula, atau sekitar 12,5 sendok teh. Pantas saja jika penderita diabetes di Tanah Air jumlahnya mengkhawatirkan.
Data International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan jumlah penderita penyakit gula atau diabetes di Indonesia dapat mencapai 28,57 juta pada 2045. Jumlah ini lebih besar 47% dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 19,47 juta kasus.
Jumlah penderita penyakit ini pada 2021 meroket pesat selama sepuluh tahun terakhir mencapai 167% dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 7,29 juta penderita.
Ironisnya, pertumbuhan bisnis minuman berpemanis di Indonesia cukup dikatakan berkembang pesat akhir-akhir ini. Munculnya minuman semacam boba, cheese tea, hingga kopi kekinian semakin menabah panjang daftar minuman berpemanis di pasaran.
Berdasarkan Survei Populix, beberapa merek gerai minuman teh kekinian banyak menjadi pilihan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hasil survei, sebanyak 56% responden mengaku mengkonsumsi minuman dari merek Chatime.
Selain Chatime, ada responden yang mengkonsumsi Kopi Janji Jiwa dan Es Teh Indonesia dengan persentase sama-sama sebanyak 38%. Di urutan ke empat, sebanyak 31% responden mengkonsumsi Kopi Kenangan, dan 25% responden lainnya mengkonsumsi minuman dari merek Haus.

Dilema Pajak Dosa Minuman Berpemanis
Di tengah perkembangan bisnis yang pesat ini, pemerintah berencana akan memberlakukan cukai untuk jenis minuman berpemanis.
Badan Anggaran (Banggar) DPR sepakat untuk mengenakan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan implementasi pengenaan cukai MBDK akan dilakukan sesuai dengan kondisi ekonomi pada 2023.
Wacana cukai ini menghidupkan kembali apa itu yang disebut sin tax atau pajak dosa. Selama ini, sin tax diberlakukan untuk rokok dan alkahol saja.
Penggunaan kata “sin” yang berarti “dosa atau kesalahan”, dikarenakan alkohol dan rokok memang merugikan kesehatan. Mengutip dari website Kementerian Kesehatan, dana yang didapat dari sin tax ini lalu secara spesifik digunakan untuk kesehatan.
Jika definisi sin tax merujuk pada pengenaan bagi makanan atau minuman yang merusak kesehatan, maka kriteria minuman berpemanis seharusnya masuk sebagai objek pajak sin tax.
Namun, pemberlakuan ini nampaknya akan menimbulkan tubulensi yang cukup pelik. Terutama bagi industri makanan dan minuman kemasan yang cukup besar di Indonesia.
Dibandingkan dengan industri alkohol, industri makanan dan minuman ini memiliki pemain yang lebih kuat.
Sebut saja Indofood milik Salim Group, Mayora hingga Garuda Food, kesemuanya merupakan penguasa pangsa pasar makanan dan minuman kemasan di Indonesia.
Pada akhirnya, keputusan menetapkan cukai ini akan menjadi pisau bermata dua.
Dari sisi industri, pengenaan pajak ini akan meningkatkan nilai jual produk yang akan berdampak bagi daya beli masyarakat. Kondisi ini juga berisiko mempengaruhi upaya pemulihan ekonomi yang saat ini tengah menjadi konsen pemerintah.
Sementara bagi para pengusaha minuman kekinian, cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan berpotensi mengganggu pertumbuhan bisnis skala usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). (ADF)