Imbasnya, lanjut dia, pemutusan hubungan kerja (PHK) tak terbendung. Perusahaan tekstil kelas menengah yang tak bisa menjaga arus kasnya mau tidak mau harus menutup pabriknya.
"Banyak perusahaan-perusahaan kelas menengah di mana buruhnya ada sekitar 1.000-3.000 orang itu sudah banyak yang tutup. Kalau yang perusahaan besar mungkin bisa bertahan karena cash flow-nya yang kuat jadi masih bisa di-adjust dengan mengurangi produksi dan tetap bertahan. Tapi kalau perusahaan perusahaan yang cash flow-nya enggak kuat, pilihannya adalah tutup," papar Redma.
Redma mengungkapkan, pemicu anjloknya industri tekstil saat ini karena maraknya baju-baju impor ke pasar domestik, baik itu kondisi barang baru maupun bekas. Padahal, sasaran para pengusaha tekstil nasional 70 persennya adalah pasar domestik.
Maka dari itu, pihaknya mendukung penuh langkah pemerintah memusnahkan barang-barang bekas impor di dalam negeri. Sebab, jika tidak demikian, industri tekstil lokal akan semakin terpuruk.
"Jadi sekarang ini pasar domestik lah yang justru menjadi konsen dari pelaku industri tekstil dan juga produk tekstil," pungkas Redma.
(YNA)