"Inflasi Indonesia ini dibandingkan dengan banyak negara di dunia jauh lebih rendah, tentu ada cost-nya atau biayanya, yaitu biaya subsidi dan kompensasi yang melonjak tinggi. Negara-negara emerging inflasinya berada di kisaran 7% bahkan hingga double digit seperti Brazil di 12% dan negara yang sedang menghadapi krisis seperti Argentina dan Turki bahkan inflasinya masing-masing mencapai 70% dan 58%," ungkap Sri.
Dia mengatakan, angka 70% itu setara dengan Indonesia di saat krisis moneter di tahun 1997 dan 1998. Maka dari itu, peranan APBN sangat penting dalam menghadapi guncangan-guncangan baik dari pandemi maupun kenaikan harga komoditas dari disrupsi supply.
"APBN sebagai shock absorber ini adalah untuk menjaga daya beli rakyat dan menjaga momentum pemulihan. Namun, APBN bukannya suatu instrumen yang tanpa batas, selalu ada batasnya. Maka untuk itu, APBN akan terus dijaga, satu sisi sebagai shock absorber yang efektif, dan juga sisi lain menjaga keberlanjutan kesehatannya," kata Sri.
Untuk tahun 2022 ini, sambung dia, shock absorber-nya dari sisi daya beli maupun momentum masih sangat didukung oleh Bank Indonesia melalui SKB 3, bahkan salah satu hal yang luar biasa baik dalam UU nomor 2 tahun 2020 dimana BI dan pemerintah sama-sama menjaga stabilitas makroekonomi dalam kondisi guncangan yang berasal dari berbagai sumber," pungkasnya.
(SAN)