Berdasarkan catatan Faik Fahmi, pada saat Covid-19 melanda Indonesia, pihaknya tengah dan telah melakukan pengembangan sejumlah bandara yang mengalmi lack of capacity.
Salah satunya adalah Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kulon Progo yang menghabiskan biaya pembangunan senilai Rp12 triliun.
Lalu, pembangunan terminal baru Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin yang menghabiskan biaya sebesar Rp2,3 triliun. Terminal baru Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang sebesar Rp2,03 triliun, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar sebesar Rp2,6 triliun.
Beberapa pengembangan bandara lainnya seperti Bandara Sam Ratulangi Manado, Bandara Lombok Praya, Terminal 1 Bandara Juanda Surabaya, Bandara Pattimura Ambon, hingga Bandara El Tari Kupang pun menghabiskan anggaran yang bernilai bombastis.
Di lain sisi, sepanjang pandemi trafik penumpang di 15 bandara mengalami penurunan signifikan. Pada 2021 ini hanya mencapai 32,7 juta penumpang dan diprediksi hanya mencapai 25 juta penumpang saja hingga akhir tahun ini.
Situasi trafik penumpang menurun drastis membuat perusahaan mengalami tekanan keuangan. Bahkan, perseroan dihadapkan dengan kewajiban membayar pinjaman sebelumnya yang digunakan untuk investasi pengembangan bandara. Dimana, total bunga pinjaman dari sindikasi dan obligasi mencapai Rp 1,54 triliun.
Namun, sedang utang sebesar itu yang sebagian besar berasal dari pembangunan proyek bandara baru, manajemen AP I menganggap hal tersebut tidaklah buruk seperti dugaan banyak pihak.
"Kondisi Angkasa Pura I tidak seburuk dari yang diberitakan, memang kita utang kepada kreditur dan investor sampai dengan November 2021 itu sebesar Rp28 triliun. Jadi bukan Rp35 triliun tapi Rp28 triliun," ujar Faik.
Saat ini proses penyelesaian utang melalui restrukturisasi tengah dibidik manajemen. Berbagai langkah startegi pun ditempuh. Meski begitu, Faik wanti-wanti bila restrukturisasi menemui jalan buntu, maka kondisi keuangan perusahaan kian memburuk.
"Apa yang kita alami ini penyebabnya bukan masalah yang bersifat struktural, jadi isunya bukan utang yang besar, tapi dengan utang yang besar tersebut kondisi Angkasa Pura I belum beranjak pulih akibat dampak pandemi Covid-19. Dan potensi untuk meningkat lebih buruk lagi, bila tidak dilakukan upaya penyehatan dan restrukturisasi," katanya.
Saat ini proses penyelesaian utang melalui restrukturisasi tengah dibidik manajemen. Berbagai langkah startegi pun ditempuh. Meski begitu, Faik wanti-wanti bila restrukturisasi menemui jalan buntu, maka kondisi keuangan perusahaan kian memburuk.
"Apa yang kita alami ini penyebabnya bukan masalah yang bersifat struktural, jadi isunya bukan utang yang besar, tapi dengan utang yang besar tersebut kondisi Angkasa Pura I belum beranjak pulih akibat dampak pandemi Covid-19. Dan potensi untuk meningkat lebih buruk lagi, bila tidak dilakukan upaya penyehatan dan restrukturisasi," katanya. (RAMA)