IDXChannel - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan akan menyampaikan Pidato Rancangan Undang-undang (RUU) APBN 2024 dan Nota Keuangan pada Rabu (16/8/2023). Ini merupakan pidato terakhir Jokowi dalam 10 tahun masa jabatannya.
Presiden belum membocorkan rincian hal yang akan menjadi fokus pemerintah di tahun terakhirnya menjabat.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun membocorkan sejumlah arahan Jokowi terkait RAPBN 2024. Arahan ini disampaikan dalam rapat kabinet paripurna terkait postur final RAPBN 2024 di Istana Negara beberapa waktu lalu.
"Agustus selalu menjadi bulan penuh kesibukan tinggi...! Selain Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia; Presiden juga harus menyampaikan Rencana Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja tahun depan," kata Sri Mulyani dikutip dari akun Instagram miliknya, Minggu (12/8/2023).
Menurut Menkeu, Jokowi menekankan jajarannya untuk berfokus pada berbagai program pembangunan prioritas nasional yang harus diselesaikan dengan baik dan tuntas.
Beberapa hal lain yang menjadi perhatian adalah perkembangan geopolitik, perubahan iklim, dan ancaman El Nino yang berpotensi mengganggu ketahanan pangan.
Selain itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) masih menjadi prioritas presiden melalui program reformasi pendidikan dan kesehatan dan jaring pengaman sosial yang tepat dan kuat.
Pasca berakhirnya pandemi Covid-19, tantangan pemerintahan RI kini beralih ke sejumlah isu ekonomi yang terkait dengan gejolak ekonomi global.
Menjelang pidato RAPBN 2024 dan Nota Keuangan 2023 terakhir Jokowi, IDX Channel merangkung sejumlah isu yang akan menjadi tantangan dalam implementasi RAPBN di tahun depan, di antaranya:
- Tahun Politik
2024 merupakan tahun politik di mana Indonesia akan menjalankan pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih pemimpin baru negeri ini.
Presiden telah menyampaikan sebelumnya bahwa perkiraan anggaran pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 bakal membutuhkan anggaran hingga Rp110,4 triliun. Angka ini naik hampir 25 kali lipat dibandingkan anggaran Pemilu 2004 senilai Rp4,45 triliun. Sementara, anggaran Pemilu pada 2009 sebesar Rp8,5 triliun.
Kemudian, total anggaran Pemilu 2014 mencapai Rp 15,62 triliun. Sementara, total anggaran Pemilu 2019 sebesar Rp 25,59 triliun. Apabila ditotal, total anggaran Pemilu 2004-2019 mencapai Rp 54,16 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)
- Gejolak Perdagangan Global
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja melaporkan kinerja perdagangan RI untuk periode Juli 2023. Dalam paparan BPS, Neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2023 anjlok 63 persen dibandingkan capaian bulan sebelumnya secara bulanan (month-to-month/mtm).
Angka neraca dagang RI mencatat surplus USD1,31 miliar pada Juli 2023, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya sebesar USD3,54 miliar per Juni 2023. (Lihat grafik di bawah ini.)
Surplus neraca perdagangan Juli 2023 masih menjadi capaian perdagangan RI selama 39 bulan secara berturut-turut sejak April 2020.
Namun demikian, kondisi ini perlu dicermati ke depan. BPS mencatat, sepanjang Januari-Juli 2023, sektor migas mengalami defisit USD10,70 miliar. Surplus tercatat di sektor nonmigas dengan jumlah mencapai USD31,94 miliar, sehingga secara total mengalami surplus USD21,24 miliar.
Pada periode yang sama, RI mengalami defisit perdagangan dengan beberapa negara, di mana tiga di antaranya adalah dengan China, Australia dan Jerman. Neraca dagang dengan China tercatat mengalami defisit sebesar USD0,6 miliar, Australia dan Jerman masing-masing USD0,5 miliar.
Ini menjadi sinyal waspada di tengah kondisi ekonomi China yang masih berjuang dalam pemulihan ekonomi domsetiknya. Mengingat China selama ini menjadi mitra dagang andalan RI.
- Realisasi Hilirisasi Tambang
Baru-baru ini, media dihebokan kisruh terkait isu hilirisasi juga terjadi antara ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri dan presiden Jokowi.
Ini bermula dari pernyataan Faisal Basri yang mengatakan bahwa 90 persen hilirisasi di Indonesia hanya menguntungkan China.
Faisal mengatakan keuntungan program hilirisasi besi baja sebanyak 90 persen lari ke China, sedangkan Indonesia hanya mendapatkan 10 persen saja.
Menanggapi pernyataan Faisal, Presiden Jokowi merespons tudingan tersebut. Menurut Jokowi tuduhan itu tidak benar. Dia malah mempertanyakan balik metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan itu.
"Hitungan dia bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun," katanya di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8).
Menanggapi Jokowi, Faisal Basri menjawab melalui laman resmi pribadi miliknya.
“Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China,” tulis Faisal diblognya dikutip Senin (14/8/2023).
Faisal menyebutkan, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai USD85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per USD.
Sementara, jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nikel Indonesia sepanjang Januari-Mei 2023 China menjadi negara dengan volume ekspor terbanyak pada periode tersebut.
Angkanya mencapai 394 juta kilogram (kg) nikel. Volume berat bersih itu naik signifikan dari periode yang sama tahun sebelumnya (yoy) Mei 2022 yang sebanyak 152,96 juta kg. (Lihat grafik di bawah ini.)
“Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah USD27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per USD, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun,” lanjut Faisal.
Ia menambahkan, terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan presiden dan hitung-hitungan miliknya, terjadi lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi tambang yaitu 414 kali lipat.
- Perubahan Iklim dan Bencana Alam
RI tidak lepas dari adanya ancaman perubahan iklim. Jika tidak dimitigasi dengan baik, perubahan iklim dapat menekan perekonomian dan kehidupan masyarakat. Perubahan iklim juga dapat mendorong terjadinya bencana alam lebih massif. Termasuk di antaranya bencana El Nino yang mengancam ketahanan pangan.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 3.494 peristiwa bencana di Indonesia sejak awal tahun hingga 29 Desember 2022. Terjadinya bencana alam menelan banyak anggaran.
Berdasarkan laporan BNPB 2022, realisasi anggaran kebencanaan mencapai Rp565,17 miliar.
Selain itu, untuk menekan risiko perubahan iklim, termasuk menurunkan emisi karbon, RI membutuhkan anggaran yang besar.
Hal ini sempat disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Indonesia setidaknya membutuhkan dana hingga Rp 4000 triliun. Dana ini diperlukan untuk mengejar target menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) hingga 2030. Jumlah ini lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahunan.
- Pemindahan IKN
Upaya pemerintah dalam mendorong terwujudnya ibu kota negara baru tampaknya masih membutuhkan waktu yang panjang. Gagasan yang diumumkan pada 2019 ini dijadwalkan rampung pada 2024.
Pada awal diumumkan, pembangunan IKN ini diperkirakan menelan biaya lebih dari USD35 miliar atau setara Rp524,3 triliun (kurs Rp 14.980 per USD).
Namun, pembangunan IKN membutuhkan investasi besar untuk pengembangannya. Kebutuhan ini dapat menghadirkan banyak peluang bagi bisnis asing.
Dari USD35 miliar yang dibutuhkan untuk pembangunan, pemerintah akan mendanai di bawah 60 persen, dengan sisanya berasal dari sektor swasta. (ADF)