Di September, masing-masing suku bunga masih tercatat sebesar 4,32 persen, 4,73 persen, 5,02 persen, 5,13 persen, dan 5,45 persen. Ini artinya, rezim suku bunga tinggi masih membebani masyarakat dan konsumen secara luas.
Menariknya, tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat (Pempus) terkontraksi sebesar 8,8 persen yoy, setelah tumbuh sebesar 13,2 persen yoy pada September 2023.
Ini semakin menegaskan lambatnya belanja pemerintah jelang kuartal akhir tahun ini. Padahal, selama ini belanja pemerintah merupakan salah satu pendorong perekonomian nasional. Ini mengingat RI masih menganut sistem Keynessian dalam perekonomian domestiknya.
Mengacu pada ide pakar ekonomi, John Maynard Keynes, yang menyatakan bahwa salah satu unsur dalam pendapatan nasional yang digambarkan sebagai permintaan agregat adalah pengeluaran pemerintah.
Keynes menyebutkan bahwa pendapatan nasional suatu negara adalah hasil penjumlahan dari konsumsi (consumption), investasi (investments), belanja pemerintah (government expenditure), serta nilai netto dari ekspor (export) dan impor (import).
Jika merujuk pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya 4,94 persen secara tahunan pada kuartal ketiga 2023 jika dibandingkan dengan kuartal ketiga 2022.
Secara kuartalan, ekonomi RI juga hanya naik 1,6 persen ketimbang kuartal kedua 2023. Angka ini lebih rendah dari prediksi konsensus sebesar 1,7 persen dan pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 3,86 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penurunan laju pertumbuhan ekonomi ini terutama karena perlambatan konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, dan ekspor di tengah pelemahan harga komoditas. Tercatat, belanja pemerintah terkontraksi 3,76 persen pada Q3 2023. Di kuartal sebelumnya, belanja pemerintah tumbuh hingga 10,57 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Bahkan, pemerintah menetapkan rancangan APBN 2024 yang menekankan pada belanja konsumsi. Anggaran tersebut dirancang untuk mencapai pertumbuhan PDB sebesar 5,2 persen dengan inflasi sekitar 2,8 persen.
Belanja pemerintah juga diproyeksikan naik 5,8 persen yoy menjadi Rp 3,304 triliun pada 2024. Mengingat, APBN 2024 dirumuskan dengan bayang-bayang perlambatan ekonomi global yang bisa saja dampaknya semakin dirasakan di tahun depan. (ADF)