Namun, hal tersebut memerlukan dukungan berupa investasi besar, transfer teknologi, dan pendanaan.
"Perlu sebuah investasi yang besar, perlu sebuah transfer teknologi, perlu pendanaan iklim global yang betul-betul serius didukung oleh internasional. Kalau itu hanya kita bicarakan dari tahun ke tahun dan tidak ada mobilisasi, tidak ada keputusan, saya pesimistis bahwa yang namanya perubahan iklim ini betul-betul tidak bisa kita cegah sama sekali," jelasnya.
Bicara mengenai pangan, perlu diketahui memang Food and Agriculture Organisasi (FAO) mengatakan bahwa kerusakan tanah dan perubahan iklim bisa menyebabkan penurunan produksi pertanian hingga 50% di beberapa wilayah, apalagi status kesuburan tanah di negara seperti Amerika Serikat sudah kehilangan top soil (lapisan tanah atas) sebanyak 50%, kemudian 75%-85% tanah pertanian di Eropa hanya memiliki 2% kandungan organik, sedangkan tanah pertanian di Indonesia hanya memiliki 0,5% kandungan organik.
Ilmuan Bidang Microbiology dan Agroecology Dr. Nico Wanandy, peneliti asal Indonesia dari University of New South Wales Sydney, School of Biotechnology and Biomolecular Science mengatakan hal yang serupa, bahwa untuk menjaga nexus kehidupan tersebut, kesehatan tanah memainkan peranan sentral.
“Kesuburan tanah dapat memberikan dampak yang luar biasa untuk kehidupan sosio-ekonomi juga dalam pencegahan perubahan iklim, termasuk perekonomian masyarakat, apalagi untuk negara agraris yang alamnya kaya seperti Indonesia. Di India, penghasilan petani sempat di bawah rata-rata, lalu Pemerintah India menggalakan praktek agrikultur yang mempromosikan kesehatan tanah, dan hasilnya penghasilan petani meningkat 230%,” jelas Nico.