Lebih lanjut, Anindya menilai kondisi ini sebenarnya tetap lebih menguntungkan dibanding banyak negara lain. Dengan begitu, capaian pemerintah atas tarif ini patut diapresiasi karena tercapai di tengah posisi Indonesia yang memang mencatat surplus perdagangan dengan AS.
Ia mencontohkan, Meksiko dikenakan tarif sebesar 35 persen, sementara China 30 persen. Bahkan menurutnya, Inggris yang hanya dikenai 10 persen, tetap mencatat defisit perdagangan dengan AS, berbeda dengan Indonesia yang mengalami surplus sebesar USD18 miliar.
“Memang banyak yang menanyakan, kenapa 19 persen? Tidak lebih rendah lagi? Tapi ini relatif daripada keadaan Indonesia saat ini. Indonesia berdagang dengan Amerika surplus USD18 miliar. Sehingga, pasti akan ada tarif. Tapi ini lebih bagus daripada yang dibicarakan sebelumnya 32 persen,” ujarnya.
Lebih lanjut, Anindya menyatakan kesepakatan tarif ini justru bisa menjadi katalis bagi pertumbuhan perdagangan bilateral antara Indonesia dan AS. Ia optimistis bahwa nilai ekspor Indonesia ke AS bisa meningkat dua kali lipat dalam lima tahun ke depan.
“Kalau saya lihat, perdagangan yang tadinya USD40 miliar, dalam lima tahun bisa mencapai USD80 miliar. Kita mesti lihat bukan hanya untungnya buat mereka, tapi apa untungnya buat kita,” ungkap Anindya.
(Febrina Ratna Iskana)