Sementara ketika orde baru, Indonesia hanya memiliki 10% SBN dan 90% berasal dari utang ke negara asing atau lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank dan sebagainya.
“Kita secara masalah kemerdekaan lebih merdeka untuk menentukan arah kebijakan karena tidak mendapatkan persyaratan dari negara yang memberikan utang, di mana ada persyaratan tidak boleh melakukan suatu hal. Sekarang 90% pembiayaan APBN dari SBN,” papar Deni.
Dia menjelaskan, sebanyak 85 persen SBN sudah dikuasai oleh investor dalam negeri, baik lembaga maupun individu. Sedangkan 15 persen sisanya dimiliki oleh investor asing.
"Angka ini meningkat pesat dari sebelum pandemi. Saat itu, 39 persen SBN kita dimiliki oleh investor asing. Sekarang tinggal level 15 persen dimiliki investor asing, jadi 85 persen SBN kita dinikmati oleh investor domestik," terangnya.
Walaupun utang selalu mengalami peningkatan, diakui Deni, ukuran ekonomi Indonesia yang dilihat melalui produk domestik bruto (PDB) juga semakin besar. Angkanya pun disebut tertinggi sejak kemerdekaan Indonesia, sehingga kemampuan Indonesia dalam membayar utang juga semakin meningkat.
Dengan demikian, kondisi utang Indonesia berada dalam kondisi yang aman dan tidak berbahaya. Selain itu, Deni memaparkan, Indonesia sepanjang sejarah tidak pernah mengalami gagal bayar
“Kalau kita bicara apakah utang kita di kondisi yang berbahaya? Maka risiko berbahaya adalah ketika suatu negara atau perusahaan tidak bisa membayar kewajiban atau gagal bayar (default), baik dalam pembayaran bunga atau pokoknya. Dalam sejarah, Indonesia belum pernah default,” pungkasnya.
(FAY)