sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Kendalikan Konsumsi, YLKI Dukung Pemberlakuan Pajak Tinggi untuk Rokok Elektrik

Economics editor Wahyudi Aulia Siregar
02/02/2024 11:52 WIB
Salah satu instrumen dalam pengendalian konsumsi rokok elektrik adalah kebijakan fiskal dengan pengenalan cukai yang tinggi dan pajak.
Kendalikan Konsumsi, YLKI Dukung Pemberlakuan Pajak Tinggi untuk Rokok Elektrik (FOTO:MNC Media)
Kendalikan Konsumsi, YLKI Dukung Pemberlakuan Pajak Tinggi untuk Rokok Elektrik (FOTO:MNC Media)

IDXChannel - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung upaya pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang memungut Pajak Rokok Elektrik mulai 1 Januari 2024.

Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan salah satu instrumen dalam pengendalian konsumsi rokok elektrik adalah kebijakan fiskal dengan pengenalan cukai yang tinggi dan pajak.

"Kalau biasanya kami menolak sesuatu yang berhubungan dengan pajak, kali Ini kami apresiasi langkah pemerintah. Rokok elektrik ini produk abnormal, sehingga perlu dikendalikan lewat pajak," kata Tulus saat hadir secara virtual dalam Diskusi Publik bertajuk 'Urgensi Pengenalan Pajak Rokok Elektrik untuk Melindungi Masyarakat Konsumen' yang digelar di Grand Mercure Hotel, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Medan, Jumat (2/2/2024).

Tulus menjelaskan, maraknya peredaran rokok elektrik di Indonesia menyebabkan jumlah penggunanya meningkat secara signifikan. Data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021 lalu, menunjukkan prevalensi perokok elektrik naik dari 0,3 persen di 2011 menjadi 3 persen di 2021.

Kemudian prevalensi perokok remaja usia 13-15 tahun juga meningkat sebesar 19,2 persen. Peningkatan dalam penggunaan rokok elektrik di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia sudah pada taraf mengkhawatirkan.

"Tingkat penggunaan oleh anak muda jauh melebihi tingkat penggunaan pada orang dewasa," jelasnya.

Hal ini, disebabkan karena rokok elektrik menyasar anak-anak melalui media sosial dan pemberi pengaruh (influencer), dengan beragam varian rasa yang menjadi kegemaran anak dan remaja. Bahkan beberapa produk tersebut menggunakan karakter kartun dan desain yang apik, menari sehingga menarik bagi generasi muda.

Padahal seperti dilansir dari rilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rokok elektrik yang mengandung nikotin sangat membuat ketagihan dan berbahaya bagi kesehatan. Rokok elektrik menghasilkan zat beracun, yang menyebabkan kanker, meningkatkan risiko gangguan jantung dan paru-paru.

Kandungan glikol pada rokok elektrik akan mengiritasi paru-paru dan mata, serta menimbulkan gangguan saluran pernafasan seperti asma, sesak nafas hingga terhalangi (obstruki) jalan napas. Sedangkan kandungan Diasetil atau penambah rasa pada rokok elektrik juga dapat mempengaruhi perkembangan otak sehingga memicu gangguan belajar pada remaja. Paparan rokok elektrik pada janin dapat berdampak buruk pada perkembangan janin pada ibu hamil.

"Tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan rokok elektrik dapat membantu ketergantungan dari penggunaan rokok konvensional. Justru sebaliknya, masyarakat akan tertimpa beban kesehatan ganda (Double Burden) karena konsumsi rokok elektrik," tukasnya.


Banyak penelitian, lanjut Tulus, yang secara konsisten menunjukkan bahwa generasi muda yang menggunakan rokok elektrik hampir tiga kali lebih mungkin untuk menggunakan rokok konvensional di kemudian hari. Sebaliknya, pengguna rokok konvensional yang mencoba mengkonsumsi rokok elektrik, terbukti tidak seratus persen meninggalkan rokok konvensional.


Pengendalian konsumsi rokok elektrik dalam bentuk fiskal berupa cukai dan pajak sangat diperlukan. Termasuk instrumen pengendalian non fiskal dalam bentuk Kawasan Tanpa Rokok. larangan iklan, promosi dan pensponsoran (sponsorship), serta peringatan kesehatan bergambar.

"Pengenalan cukai dan pajak pada pajak rokok elektrik untuk pengendalian konsumsi wajib didukung. Adalah sesat pikir menolak pajak rokok elektronik, dengan dalih apapun," pungkasnya. 

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mulai menerapkan pajak untuk rokok elektrik di samping cukai rokok konvensional mulai 1 Januari 2024. Penerapan ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 143/2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% dari Cukai Rokok.

Adapun, tujuan diterbitkannya aturan ini sebagai upaya mengendalikan konsumsi rokok oleh masyarakat. Untuk itu, peran para pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha rokok elektrik dalam mendukung implementasi kebijakan ini menjadi sangat penting.

Pada prinsipnya pengenaan pajak rokok elektrik mengedepankan aspek keadilan, mengingat rokok konvensional dalam operasionalnya melibatkan petani tembakau dan buruh pabrik, yang telah terlebih dahulu dikenakan pajak rokok sejak tahun 2014.  

Sepanjang 2023, Bendahara Negara mencatat penerimaan cukai rokok elektrik hanya sebesar Rp1,75 triliun atau 1% dari total penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dalam setahun.

Dalam jangka panjang, penggunaan rokok elektrik berindikasi mempengaruhi kesehatan dan bahan yang terkandung dalam rokok elektrik termasuk dalam barang konsumsi yang perlu dikendalikan. 

Pengenaan cukai rokok terhadap rokok elektrik akan berkonsekuensi pula pada pengenaan pajak rokok yang merupakan pungutan atas cukai rokok (piggyback taxes). Namun, pada saat pengenaan cukai atas rokok elektrik pada 2018 lalu, pemerintah masih memberikan relaksasi untuk tidak mengenakan pajak rokok tersebut. 

Hal ini merupakan upaya pemberian masa transisi yang cukup atas implementasi dari konsep piggyback taxes yang telah diimplementasikan sejak 2014 yang merupakan amanah dari UU No. 28/2009. 

Nantinya, sesuai dengan beleid yang berlaku, paling sedikit 50% dari penerimaan pajak rokok ini diatur penggunaannya (earmarked) untuk pelayanan kesehatan masyarakat (Jamkesnas) dan penegakan hukum yang pada akhirnya mendukung pelayanan publik yang lebih baik di daerah.

Penerimaan Pajak Rokok bagian pemerintah daerah provinsi dan bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum.


(SAN)

Advertisement
Advertisement