IDXChannel - Pemerintah China kembali menyelenggarakan Belt and Road Initiative (BRI) Summit pada 17-18 Oktober 2023. Ajang tersebut dinilai menjadi kesempatan Indonesia mendorong kerja sama pembangunan hijau.
Dihadiri oleh sekitar 130 negara dan 30 organisasi internasional, acara tersebut menghadirkan tiga forum tingkat tinggi yang akan membahas agenda utama, yakni mengenai isu konektivitas, green development (pembangunan hijau), dan ekonomi digital.
Hadirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi kesempatan bagi Indonesia untuk mendorong kerja sama pembangunan BRI yang lebih berorientasi pada kepentingan Indonesia, terutama dalam transisi energi.
Terlebih lagi, topik pembangunan hijau menjadi pembahasan yang paling menuai perhatian di antara ketiga isu di BRI Summit. Sebab, statistik dan fakta di lapangan menunjukkan masifnya jumlah investasi China di bawah payung Belt and Road Initiative yang cukup kontroversial.
Tidak hanya karena implementasinya masih bertentangan dengan semangat green development, tetapi juga proyek-proyek tersebut belum mencerminkan upaya keberlanjutan (sustainability) sebagaimana digaungkan oleh China.
Bhima Yudhistira, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menuturkan dalam 10 tahun terakhir pendanaan Tiongkok yang telah dialirkan ke berbagai negara menembus lebih dari USD1 triliun setara Rp15.700 triliun. Adapun nominal yang fantastis tersebut difokuskan untuk mendanai pembangunan pembangkit listrik, jalur kereta, pelabuhan, jalan raya, hingga jembatan.
Aliran dana Belt and Road ini mayoritas diterima oleh negara-negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia. Meski begitu, pembahasan pembangunan yang bertumpu pada isu keberlanjutan penting untuk disuarakan lebih tegas dalam Belt and Road Initiative Summit tahun 2023 ini karena pendanaan Tiongkok hingga sekarang masih jauh dari implementasi hijau.
“Proyek BRI atas pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang didanai oleh Tiongkok masih menyumbang sekitar 245 juta ton produksi karbon dioksida per tahun. Di Indonesia sendiri masih banyak proyek yang memiliki resiko tinggi terhadap lingkungan dan sosial terutama pembiayaan smelter nikel yang masih gunakan PLTU batu bara skala besar,” kata Bhima dalam keterangan tertulis, Selasa (17/10/2023).
Dengan kondisi tersebut, Bhima meminta Pemerintah Indonesia lebih tegas dalam memastikan proyek yang sudah dan akan berjalan harus ke arah transisi energi atau lebih rendah emisi karbon. Dia juga berharap pemerintah ke depannya bisa lebih selektif memilih pendanaan yang mendukung solusi transisi energi berkeadilan.
Dengan begitu, dalam Belt and Road Initiative Summit Oktober ini, Indonesia perlu membahas komitmen China atas isu green development karena Indonesia membutuhkan China sebagai mitra strategis dalam pendanaan transisi energi berkeadilan, di dalam atau di luar skema JETP (Just Energy Transition Partnerships).
(FRI)