Aliran dana Belt and Road ini mayoritas diterima oleh negara-negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia. Meski begitu, pembahasan pembangunan yang bertumpu pada isu keberlanjutan penting untuk disuarakan lebih tegas dalam Belt and Road Initiative Summit tahun 2023 ini karena pendanaan Tiongkok hingga sekarang masih jauh dari implementasi hijau.
“Proyek BRI atas pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang didanai oleh Tiongkok masih menyumbang sekitar 245 juta ton produksi karbon dioksida per tahun. Di Indonesia sendiri masih banyak proyek yang memiliki resiko tinggi terhadap lingkungan dan sosial terutama pembiayaan smelter nikel yang masih gunakan PLTU batu bara skala besar,” kata Bhima dalam keterangan tertulis, Selasa (17/10/2023).
Dengan kondisi tersebut, Bhima meminta Pemerintah Indonesia lebih tegas dalam memastikan proyek yang sudah dan akan berjalan harus ke arah transisi energi atau lebih rendah emisi karbon. Dia juga berharap pemerintah ke depannya bisa lebih selektif memilih pendanaan yang mendukung solusi transisi energi berkeadilan.
Dengan begitu, dalam Belt and Road Initiative Summit Oktober ini, Indonesia perlu membahas komitmen China atas isu green development karena Indonesia membutuhkan China sebagai mitra strategis dalam pendanaan transisi energi berkeadilan, di dalam atau di luar skema JETP (Just Energy Transition Partnerships).
(FRI)