sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Krisis Iklim dan Potensi ‘Greenwashing’  di KTT G20

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
09/11/2022 15:59 WIB
Tindakan nyata dari kepedulian pada lingkungan diperlukan sebagai hasil KTT G20 agar benar-benar berdampak bagi kelestarian lingkungan.
Krisis Iklim dan Potensi ‘Greenwashing’  di KTT G20. (Foto: MNC Media)
Krisis Iklim dan Potensi ‘Greenwashing’  di KTT G20. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Pada November terdapat dua agenda internasional penting. Pertama adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim atau COP27 dan KTT G20.

Agenda pertama digelar di Sharm El-Sheikh, Mesir pada 6 hingga 18 November. Sementara, kedua, Indonesia juga akan menggelar KTT puncak G20 pada 15-16 November di Bali.

Pada COP27, para pemimpin dunia membicarakan isu perubahan iklim yang disebut kian mengancam bumi.

Salah satu update dari COP27 adalah terbentuknya High-Level Expert Group on the Net-Zero Emissions Commitments of Non-State Entities. Forum ini memberikan kesempatan pada aktor non negara untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah iklim.

Aktor non-negara ini bisa berbentuk industri, lembaga internasional, lembaga keuangan, hingga kota-kota dunia.

“Memecahkan masalah krisis iklim membutuhkan kepemimpinan politik yang kuat. Saya mendesak semua pemimpin pemerintah untuk menyediakan entitas non-negara dengan medan yang setara untuk berperan dalam transisi energi masa depan yang adil dan bersih, ”kata Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengutip website resminya (8/11).

Tak hanya di COP26, isu perubahan iklim juga menjadi pilar utama KTT G20. Bertajuk ‘Recover Stronger Recover Together’, KTT G20 akan menempatkan isu iklim ke dalam prioritas agenda pertemuan.

Peran G20 Dalam Isu Perubahan Iklim

Pada KTT G20 nanti, isu perubahan iklim juga akan dibahas oleh para peserta KTT. Salah satu pilar prioritas G20 adalah transisi energi berkelanjutan.

Fokus ini diambil karena dampak perubahan iklim menjadi semakin nyata dan mulai berpengaruh terhadap pembangunan lokal maupun berskala global.

Mengutip buku panduan resminya, pemimpin G20 memiliki komitmen untuk menurunkan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius dan penurunan gas rumah kaca sebesar 314 hingga 398 juta ton CO2 pada tahun 2030.

Agar mencapai komitmen tersebut, sektor kehutanan dan penggunaan lahan menjadi sektor yang menyebabkan penurunan CO2 secara lebih murah dan cepat. Indonesia menjadi perhatian dunia dalam melakukan transisi energi bersih.

Namun, transisi energi berkelanjutan ini memerlukan investasi yang sangat besar. Negara-negara anggota G20 memegang tanggung jawab besar dalam memastikan proses transisi energi ini dapat berjalan secara maksimal dan menyediakan wadah untuk investasi berkelanjutan.

Sebelumnya, negara-negara maju berkomitmen memberikan pendanaan iklim USD100 miliar per 2020 untuk diberikan kepada negara miskin dan berkembang.

Baru pada COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021 negara-negara maju berhasil bersepakat kembali terkait pendanaan ini.

Lobi Indonesia di KTT G20 diharapkan bisa mendorong negara maju menyediakan USD100 miliar untuk penanganan perubahan iklim.

Isu Iklim Bukan Ajang ‘Greenwashing

Pada COP27 wacana greenwashing muncul setelah perhelatan bergengsi tersebut disponsori oleh perusahaan penghasil sampah plastik terbesar, Coca-Cola.

Mengutip The Guardian (4/10), kesepakatan sponsor antara konferensi iklim PBB (UNFCCC) tahun ini dan Coca-Cola telah dicap sebagai bentuk greenwashing oleh para aktivis lingkungan.

Hal ini karena perusahaan minuman berkarbonasi ini digambarkan sebagai ‘pencemar utama dunia’ oleh kelompok lingkungan.

Mengutip website DBS Bank, menurut Cambridge Dictionary, greenwashing adalah sebuah strategi untuk membuat orang percaya bahwa suatu perusahaan berbuat lebih banyak untuk melindungi lingkungan daripada yang sebenarnya dilakukan.

Dengan kata lain, greenwashing adalah adalah taktik yang digunakan oleh perusahaan untuk ‘mengelabui’ pelanggan agar percaya bahwa produk, layanan, atau misi organisasi mereka yang menyatakan kepedulian pada lingkungan, sebetulnya tidak benar-benar berdampak bagi kelestarian lingkungan.

Ini merupakan istilah untuk memberikan citra yang ramah lingkungan, baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan, yang pada kenyataannya tidak seindah yang mereka sampaikan.

Jay Westerveld sebagai ahli lingkungan menciptakan istilah ini pada 1986 yang mengkritik gerakan ‘Save The Towel’ dari sebuah hotel yang lokasinya berada di tepi pantai.

Gerakan itu dibuat oleh hotel tersebut dengan tujuan untuk menyelamatkan lingkungan dan terumbu karang. Namun dalam praktiknya, hotel itu malah melakukan ekspansi ke arah pantai dan kampanye dibuat hanya untuk menaikkan keuntungan.

Emma Priestland, koordinator organisasi lingkungan Break Free From Plastic, menyebut apa yang dilakukan Coca-Cola mensponsori COP27 adalah murni ‘greenwash’. Karena Coca-Cola adalah salah satu pengguna plastik terbesar di dunia.

“Selama empat tahun, kami menemukan Cola-Cola sebagai pencemar plastik teratas dunia dalam audit merek tahunan kami. Mengejutkan bahwa perusahaan yang begitu terikat dengan industri bahan bakar fosil diizinkan untuk mensponsori pertemuan iklim yang begitu penting,” kata Emma kepada Guardian.

Adapun Coca-Cola disebut memproduksi 120 miliar botol plastik sekali pakai dalam setahun dan 99% plastik tersebut terbuat dari bahan bakar fosil yang memperburuk krisis plastik dan iklim.

“Sangat membingungkan bahwa Coca-Cola – pencemar plastik terbesar di dunia berdasarkan hasil audit– akan mensponsori Konferensi Para Pihak (COP27) UNFCCC tahun ini di Mesir” ujar John Hocevar, direktur kampanye kelautan di Greenpeace AS.

John menambahkan, perusahaan ini belum menjelaskan bagaimana mereka akan memenuhi tujuan iklim mereka dan mengakhiri kecanduan plastik mereka. Kemitraan ini disebut merusak tujuan dari acara inti dari COP27.

Lalu, bagaimana potensi greenwashing dalam ajang KTT G20?

Ini mengingat, event tersebut didukung oleh sejumlah perusahaan besar yang secara tradisional bergerak di bidang energi konvensional dan transportasi.

Sebut saja, beberapa perusahaan yang menjadi sponsor kebutuhan kendaraan listrik dalam gelaran KTT G20. Ada PT Toyota-Astra Motor, Wuling Motors, hingga perusahaan energi PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA).

Astra, misalnya, selama ini menjadi produsen dan distributor utama kendaraan berbahan bakar fosil di Indonesia.

Hingga September, Toyota-Astra Motor mencetak penjualan sebanyak 243.080 unit, naik 17% yoy dibanding tahun lalu sebanyak 207.881 unit.

Kendaraan non listrik yang digunakan di gelaran G20 juga masih cukup banyak mencapai 515 unit. Di antaranya mobil milik Toyota merk Alphard, Camry, Innova, hingga Hiace.

Ancaman greenwashing tetap harus diwaspadai dalam pertemuan-pertemuan semacam COP27 dan G20.

Mengingat tindakan nyata dari kepedulian pada lingkungan diperlukan agar benar-benar berdampak bagi kelestarian lingkungan. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement