IDXChannel- Ketua Dewan Pakar Masyarakat Agribisnis Indonesia (MAI), Mohammad Jafar Hafsah bahkan menyebut, persoalan minyak goreng yang dihadapi bangsa Indonesia layaknya istilah 'ayam mati di lumbung pangan'.
Hal tersebut karena selama ini Indonesia dikenal sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia.
"Bagaimana bisa, kita adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia, kemudian kita langka minyak goreng di dalam negeri. Ini 'ayam mati di atas lumbung pangan'," ujar Jafar dalam Webinar Antisipasi Ketersediaan Pangan saat Ramadhan dan Idul Fitri, Jumat (18/3/2022) malam.
Jafar menegaskan, krisis minyak goreng ini harus menjadi sorotan, agar tidak berlarut-larut. Terlebih, saat ini, masyarakat akan menghadapi bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri.
"Biasanya, menghadapi Ramadhan dan Lebaran ini, kenaikan harga biasanya dimulai dua minggu sebelum Lebaran. Itu terjadi kenaikan harga komoditi sampai 5 persen, tapi sekarang minyak goreng sudah menggoreng kita dari jauh-jauh hari," katanya.
Jafar pun menyikapi pernyataan Menteri Perdagangan (Mendag) Republik Indonesia (RI), Muhammad Lutfi yang mengaku tidak mampu mengontrol minyak goreng yang ditudingnya sudah dikendalikan oleh mafia. Menurut Jafar, pernyataan tersebut tidak pantas untuk dikeluarkan.
"Maaf sekali, Pak Menteri Perdagangan tidak bisa mengeluarkan statement itu walaupun kita tahu bahwa bapak sungguh sungguh memang tidak bisa berkolaborasi dengan industri-industri yang besar itu," tukasnya.
Oleh karenanya, Jafar pun meminta pemerintah bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan persoalan minyak goreng ini, agar kendali minyak goreng dapat kembali dipegang oleh pemerintah.
"Menteri Perdagangan dipastikan harus mampu, jangan pernah takut, jangan pernah tidak mengatur dan intervensi karena kita punya konstitusi terkait hak asasi manusia bahwa semua orang berhak makan dan mendapatkan harga yang layak untuk makan," tegasnya lagi.
Lebih lanjut Jafar mengatakan, dalam menghadapi Ramadhan, termasuk Idul Fitri mendatang, pihaknya memberikan sejumlah rekomendasi, di antaranya pemerintah harus membentuk tim ketersediaan bahan pokok.
"Tim ini harus terbentuk dan efektif bekerja. Tim ini mengoordinasikan stakeholder, pemangku kepentingan, dan para pelaku lewat komunikasi dan kolaborasi, tidak ada pilihan lain," kata Jafar menekankan.
"Jangan menyerahkan pada mekanisme pasar sambil berdoa tidak terjadi kenaikan harga. Kita harus berkoordinasi dengan produsen besar yang menguasai sebagian besar dari komoditi tertentu, itu harus dilakukan," jelasnya.
Selain itu, Jafar pun meminta pemerintah memastikan ketersediaan bahan pokok, baik hasil produksi dalam negeri maupun impor dan menempatkan stok bahan pokok tersebut pada titik-titik distribusi yang tepat.
"Jadi, ketersediaan bahan pokok dipastikan tersedianya di titik titik distribusi yang terjangkau oleh konsumen dalam jarak, waktu dan harga. Kalau kita bicara supply, bisa saja kan 60 persen bertumpu di Jawa, sedangkan di 28 provinsi luar Jawa pun membutuhkan. Artinya, harus terdistribusi, transportasi bagus, dan dipastikan dapat berlangsung baik dan ini harus selalu dapat dipantau tim," bebernya.