Produk tenun NTT turut dipromosikan lewat pameran internasional seperti Global Sourcing Expo Melbourne dan Dubai Expo, serta menjadi official merchandise di MotoGP Mandalika dan ADFIAP CEO Meeting. Untuk memperkuat pemasaran, sebuah toko offline di Labuan Bajo juga didirikan sebagai etalase produk tenun lokal.
CEO Tenunin, Hayatul Fikri Aziz menggarisbawahi dampak ekonomi signifikan dari program ini. Ia menambahkan, selain peningkatan pendapatan, program ini juga memperkuat kapasitas produksi dan memperluas jangkauan pasar, menjadikan kain tenun NTT sebagai produk ekspor bernilai budaya tinggi dan berdaya saing global.
"Rata-rata pendapatan penenun mengalami peningkatan sebesar 30 persen, dari sebelumnya Rp750 ribu–Rp1 juta per bulan menjadi Rp975 ribu–Rp1,3 juta per bulan setelah program berjalan," kata Hayatul.
Salah satu tokoh inspiratif dalam program ini adalah Mama Sariat Tole, penenun asal Kampung Hula di Pulau Alor. Mama Sariat, yang telah menenun sejak usia lima tahun, dikenal menggunakan benang kapas hasil tanam sendiri dan pewarna alami dari bahan lokal seperti tinta cumi, daun kelor, kunyit, hingga akar mengkudu.
Karya-karyanya telah dipamerkan di 13 negara, dan ia tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pembuat warna alami terbanyak untuk kain tenun.