Kurangnya Bakat Cybersecurity
Tak hanya soal aturan, pemerintah juga perlu mengatasi persoalan terbatasnya talenta digital untuk keamanan siber. Tanpa adanya sumber daya manusia (SDM) siber yang mumpuni, perang melawan kebocoran data juga akan sulit dimenangkan.
Data Cybersecurity Workforce Study 2021 menyebutkan, dunia tengah mengalami kekurangan ahli keamanan siber yang dapat berdampak serius bagi institusi atau lembaga di era digital ini.
Hasil studi menunjukkan, sebanyak 48 persen ahli siber tidak mampu menyediakan sistem keamanan secara komperehensif menyoal cybersecurity. (Lihat tabel di bawah ini.)
Dalam hal ini, pentingnya menyediakan operator yang mampu menandingi keterampilan dan kecanggihan hacker.
Sayangnya, realita ini juga terjadi di Indonesia. Mengutip laman Kominfo (12/09), Indonesia masih kekurangan bakat cybersecurity. Menurut Kominfo, hal ini yang akan menimbulkan masalah serius dalam industri strategis, pertahanan, kesatuan bangsa dan bisnis.
“Kekuatan SDM (sumber daya manusia) sama pentingnya dengan kekuatan teknologi itu sendiri,” tulis laman Kominfo.
Pernyataan Kominfo ini bukan tanpa alasan. Realitasnya, dunia masih kekurangan tenaga ahli siber yang secara professional yang dapat memberikan pelayanan kepada institusi dan lembaga resmi.
Dalam hal penyelesaian kasus kebocoran data di Indonesia, pemerintah merespon secara lamban, bahkan terkesan saling lempar tanggung jawab. Sebelumnya, Menteri Kominfo, Johnny G. Plate dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR, di Jakarta, Rabu (7/9),enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan DPR perihal tanggung jawab kebocoran data akibat serangan siber.
Ia pun menyatakan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebocoran data ini merujuk Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik.
"Terhadap semua serangan siber leading sector dan domain penting, tugas pokok, dan fungsi, bukan di Kominfo," ujarnya dalam forum tersebut. (ADF)