Pinjaman IMF tersebut tidak dicairkan secara langsung. Namun prosesnya dilakukan secara bertahap mulai 1997 hingga 2003.
Saat ini, Indonesia memiliki SDR dari IMF mencapai USD5,57 miliar dengan kuota USD 4,65 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)
Menghadapi era ketidakpastian global saat ini, banyak negara yang telah antri menjadi pasien IMF. Di akhir Oktober tahun lalu, tercatat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut ada 28 negara yang tengah antre untuk mendapatkan bantuan dari IMF.
Dalam kondisi saat ini, IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI sedikit melambat menjadi 5 persen pada 2023.
Kondisi ini disebut akibat pengaturan kebijakan yang lebih ketat dan normalisasi harga komoditas.
Inflasi, yang telah mencapai puncaknya pada 6 persen tahun lalu, diperkirakan akan kembali ke kisaran target Bank Indonesia (3±1 persen) pada paruh kedua tahun ini.
Neraca transaksi berjalan RI juga diproteksikan mencapai 1,0 persen dari PDB pada 2022, didukung oleh tingginya harga komoditas, namun diproyeksikan akan berubah menjadi defisit kecil pada 2023.
Risiko yang dihadapi Indonesia secara umum digambarkan seimbang dalam jangka pendek, tetapi lingkungan ekonomi global yang sangat tidak pasti disebut terus mengaburkan prospek tersebut.
Menguak Alasan IMF 'Ganggu' Hilirisasi RI
Cawe-cawe IMF dalam kebijakan pengehentian ekspor hasil tambang ini menambah daftar panjang upaya pihak lain dalam menjegal upaya hilirisasi pemerintah.
Sebelumnya, Indonesia juga harus berhadapan dengan Uni Eropa di WTO terkait larangan ekspor nikel yang telah berjalan.
Kini, dunia akhirnya mulai melirik pentingnya mineral kritis hasil tambang yang mencakup litium, kobalt, tembaga, timah, nikel, bijih besi, hingga seng.
Kabar baiknya, semua komoditas kritis ini dimiliki oleh Indonesia. Indonesia memiliki potensi tambang mineral jumbo. Mengutip data Kementerian ESDM, lima komoditas tambang utama di Indonesia memiliki cadangan di atas 2 miliar ton.
Pantas jika langkah hilirisasi mineral kritis Indonesia ini cukup mengkhawatirkan pasar global.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Posisi cadangan nikel Indonesia setara dengan Australia sebesar 22 persen dari total cadangan dunia. Di masa depan, nikel RI diyakini berperan penting dalam penyediaan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan nikel dunia. (Lihat grafik di bawah ini.)
Berdasarkan laporan IEA, hasil tambang mineral kritis memiliki peran penting untuk di manfaatkan ke dalam berbagai kebutuhan.
Salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan transisi energi untuk mencapai target netral karbon pada 2050.
Teknologi energi bersih dengan cepat menjadi tujuan utama dan agenda bisnis dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara meningkatnya permintaan mineral kritis juga mendorong kebutuhan pada industri.
Kondisi ini bisa menyebabkan pergerakan harga yang tidak stabil, hambatan rantai pasokan, dan kekhawatiran geopolitik yang telah menjadi perpaduan risiko yang kuat di sektor tambang mineral kritis.
Sebagai gambaran, untuk mendukung transisi energi, mineral kritis ini menjadi komponen penting dalam banyak teknologi energi bersih yang berkembang pesat saat ini, mulai dari turbin angin dan jaringan listrik hingga kendaraan listrik (EV). (Lihat tabel di bawah ini.)
Permintaan akan mineral ini diproyeksi juga akan terus tumbuh dengan cepat seiring dengan peningkatan penggunaan kendaraan listrik.