sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Menguak Alasan IMF Cawe-Cawe Kebijakan Hilirisasi Tambang RI

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
07/07/2023 07:30 WIB
Hubungan Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF) tampaknya tengah menegang.
Menguak Alasan IMF Cawe-Cawe Kebijakan Hilirisasi Tambang RI. (Foto: MNC Media)
Menguak Alasan IMF Cawe-Cawe Kebijakan Hilirisasi Tambang RI. (Foto: MNC Media)

Berdasarkan data IEA, penjualan mobil listrik di seluruh dunia naik 40 persen pada tahun 2020 menjadi sekitar 3 juta. Secara keseluruhan, lebih dari 10 juta mobil listrik kini beredar di seluruh dunia.

Permintaan mineral keseluruhan untuk produksi kendaraan listrik juga diproyeksikan tumbuh hampir 30 kali lipat antara tahun 2020 dan 2040. Utamanya permintaan litium dan nikel yang tumbuh sekitar 40 kali lipat. (Lihat grafik di bawah ini.)

Menghadapi tantangan meningkatnya kebutuhan mineral kritis ini, banyak perusahaan yang kini juga mulai mengamankan pasokan.

Sebagai contoh, sebut saja tentang investasi General Motors Company ke Lithium Americas Corp. pada Februari lalu. Tujuannya antara lain adalah memegang aset Thacker Pass.

Thacker Pass adalah sumber litium potensial terbesar yang diketahui di Amerika Serikat (AS).

Atau, Mercedes-Benz Group AG tidak akan membagikan lithium yang didapat dari Rock Tech Lithium Inc. yang berbasis di barat laut Thunder Bay, Ontario.

Investasi ini untuk membantu memastikan rantai pasokan litium vertical milik pabrik Merci tetap terjaga. Merci juga disebut mengharapkan investasi lain ke dalam mineral penting lainnya.

Ini menjadi gambaran bagaimana kebutuhan mineral kritis begitu sangat kritis hari ini.

Berdasarkan hasil riset EY, kondisi ini menimbulkan tantangan yang signifikan bagi sektor pertambangan dan logam dalam hal ketersediaan sumber daya, akses ke modal, dan rantai pasokan yang efisien.

Transisi energi akan menjadi mahal, dan industri pertambangan dan logam perlu menginvestasikan sebesar USD1,7 triliun selama 15 tahun ke depan untuk mendapatkan cukup pasokan tembaga, kobalt, nikel, dan logam penting lainnya.

Namun demikian, kemungkinan akan ada kesenjangan antara penawaran dan permintaan, dan penambang mineral kritis ini untuk mendukung permintaan yang diharapkan.

Menurut EY, dalam memenuhi permintaan global, produksi litium harus empat kali lipat dari 490kt pada 2021 menjadi 2mt pada 2030.

Dengan tidak adanya pengembangan tambang lebih lanjut, defisit pasar litium diproyeksikan mencapai 700kt pada tahun 2030.

Demikian pula, pasar tembaga diperkirakan akan mengalami defisit hampir 4,7mt pada tahun 2030 berdasarkan proyeksi pasokan saat ini.

Di samping itu, diperkirakan diperlukan investasi hampir USD100 miliar untuk menjembatani kesenjangan pasokan tembaga sebesar 4,7 juta ton pada tahun 2030.

Sementara diperlukan investasi hampir USD21 miliar untuk membiayai saluran pipa kapasitas produksi litium hingga 2025.

Investasi modal yang signifikan dan timeline yang panjang menunjukkan bahwa perusahaan pertambangan perlu mengambil keputusan berani untuk pengembangan tambang mineral penting.

Ini menunjukkan posisi Indonesia sangat kuat sebagai negara yang memiliki cadangan jumbo berbagai mineral kritis.

Meski demikian, protes terhadap kebijakan pemerintah Indonesia ini diperkirakan tidak akan berhenti pada IMF saja. Akan banyak gugatan-gugatan yang datang ke depan.

Tantangan lainnya, proyek hilirisasi ini perlu dipastikan dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat secara luas dan tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. (ADF)

Halaman : 1 2 3 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement