Pertama, stres fisik yang disebabkan oleh jam kerja yang semakin panjang yakni 17 hingga 19 jam per hari. Para pekerja migran tidak mendapatkan jaminan kuantitas dan kualitas makanan bergizi, kurang layaknya tempat tidur dan adanya larangan libur.
Kedua, stres mental. Di tengah work from home (WFH), atau school from home, tuntutan kerja semakin banyak. Mulai dari membersihkan rumah dan masak berkali-kali dalam sehari, menjaga anak dan jompo serta berbelanja.
“PRT juga dilarang libur bahkan hingga berbulan-bulan sehingga tidak ada waktu beristirahat dan rileks. Tuntutan di kampung pun bertambah, karena mereka juga terimbas pandemi. Banyaknya keperluan di kampung halaman sementara PRT tidak bisa pulang. Inilah yang menjadi tekanan,” ujarnya.
Ketiga, stres keuangan yang disebabkan oleh biaya kebutuhan tambahan yang tak terduga yang harus dibayar oleh PRT sendiri. Seperti membeli masker, hand sanitizer, dan makanan sehat.
Bagi mereka yang tidak mendapatkan dari majikan terpaksa harus mengorbankan 10 hingga 15 persen dari gajinya yang sudah sangat kecil untuk bisa memenuhi kebutuhan darurat tersebut.