IDXChannel – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja meluncurkan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) Versi 2 pada 11 Februari 2025.
Langkah ini bertujuan untuk mendukung komitmen Indonesia dalam mencapai emisi nol bersih (net zero emission) dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Sama halnya dengan TKBI versi 1, TKBI Versi 2 adalah hasil kerja sama antara berbagai kementerian dan lembaga, serta pihak-pihak terkait lainnya.
Sebagai living document, taksonomi ini diharapkan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan yang ada dan terus mendorong alokasi modal dan pembiayaan berkelanjutan dalam mendukung pencapaian komitmen NZE Indonesia.
Kerangka dari TKBI ini berlandaskan pada perkembangan dari taksonomi pada tataran internasional dan kawasan, seperti EU Taksonomi dan juga ATSF, yang telah menerbitkan versi ketiga nya pada tanggal 27 Maret 2024 lalu.
Sebelumnya Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menjelaskan TKBI merupakan pengembangan dari versi 1 yang telah diluncurkan pada Februari 2024, di mana memuat terkait sektor energi dari lima fokus sektor NDC Indonesia.
“Versi kedua mencakup sektor konstruksi dan real estate, transportasi dan pergudangan, serta sebagian sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya,” kata Mahendra belum lama ini.
OJK menjelaskan TKBI versi 2 menjadi salah satu program prioritas OJK untuk terus konsisten mendukung pencapaian komitmen net zero emission Indonesia dengan meningkatkan peran sektor jasa keuangan dalam inisiatif keuangan berkelanjutan.
Penasihat Keuangan Berkelanjutan dari PWC Indonesia Yuliana Sudjonno menyambut baik terbitnya TKBI Versi 2.
“Ini menunjukkan aksi nyata dan keseriusan OJK untuk terus mengembangkan arahan yang dapat meminimalisir multitafsir dan juga pratik greenwashing dalam implementasi aktivitas ekonomi berkelanjutan,” kata Yuliana.
Dia menjelaskan, keberlanjutan membutuhkan upaya dari semua pihak pelaku ekonomi, tidak terbatas pada sektor tertentu atau perusahaan besar saja.
Melalui TKBI versi 2 ini, semakin banyak sektor yang dapat melakukan penilaian sendiri (self assessment) terkait dengan kesesuaian aktivitas ekonomi mereka dengan klasifikasi berdasarkan taksonomi yang ada, serta mendukung pelaku usaha dalam menerima pembiayaan berkelanjutan.
“TKBI Versi 2 ini, saya lihat telah dirancang dengan inklusif sehingga dapat digunakan sebagai landasan dalam melakukan penilaian atas aktivitas ekonomi tidak hanya untuk korporasi dan umkm, namun juga untuk keperluan konsumtif,” kata Yuliana.
Adapun salah satu aspek utama dalam TKBI Versi 2 yang juga telah ada di TKBI versi sebelumnya, yakni penerapan pendekatan multi-level dalam penilaian aktivitas ekonomi, yang bertujuan untuk memastikan pemenuhan standar ilmiah yang jelas sebelum perusahaan dapat mengklaim produknya ramah lingkungan.
“Baik TKBI Versi 1 dan Versi 2 telah memiliki kombinasi standar teknis Technical Screening Criteria (TSC) dan Sector-agnostic Decision Tree (SDT). Melalui keduanya, setiap aktivitas harus memenuhi standar teknis tertentu sebelum dapat dikategorikan sebagai berkelanjutan. Di TKBI Versi 2 penerapan kriteria ini diperluas ke sektor-sektor selain energi, antara lain konstruksi dan real estate, transportasi & penyimpanan, serta Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan Lainnya (AFOLU).
Sebagai informasi, TKBI Versi 2 memperluas cakupan sektor industri utama yang berkontribusi signifikan terhadap keberlanjutan dan transisi ekonomi hijau. Sektor Energi mencakup pengembangan energi terbarukan, percepatan penghentian PLTU, serta teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).
Sektor Konstruksi & Real Estate (C&RE) mengatur bangunan hijau serta pemukiman berkelanjutan, termasuk bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Sektor Transportasi & Penyimpanan (T&S) berfokus pada kendaraan listrik, Sustainable Aviation Fuel (SAF), serta transportasi publik rendah emisi. Sementara itu, sektor Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan Lainnya (AFOLU) mencakup pengelolaan hutan lestari, perkebunan berkelanjutan, serta konservasi lahan karbon tinggi.
Yuliana juga menjelaskan konsep Do No Significant Harm (DNSH) dan Social Aspect (SA) yang implementasinya diperluas melalui TKBI Versi 2 ini.
“DNSH memastikan bahwa sebuah aktivitas yang dikategorikan hijau tidak merusak tujuan lingkungan lainnya, seperti perlindungan keanekaragaman hayati dan pengelolaan limbah. Sementara itu, aspek sosial turut diperhitungkan dalam penilaian, termasuk perlindungan hak pekerja dan kesejahteraan masyarakat terdampak. Dengan pendekatan ini, aktivitas yang hanya memenuhi sebagian kriteria lingkungan tetapi memiliki dampak negatif di aspek lainnya tidak akan dapat diklaim sebagai berkelanjutan,” tutur Yuliana.
Interoperabilitas dengan standar global juga menjadi fokus dalam TKBI Versi 2. Dengan menyesuaikan kerangka kerja ini dengan ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance dan standar internasional lainnya, taksonomi ini memastikan penyelarasan kebijakan nasional dengan praktik terbaik di level regional dan global.
Yuliana juga menjelaskan praktik klasifikasi dalam TKBI, baik pada Versi 1 dan Versi 2, yakni kategori “Transisi” dan “Tidak Memenuhi Klasifikasi”. Kedua kategori ini dirancang untuk mencegah perusahaan secara prematur mengklaim diri sebagai entitas hijau.
Sebagai contoh, jika perusahaan/aktivitas yang saat ini memiliki emisi tinggi namun telah memiliki rencana aksi untuk menurunkan emisi tersebut dapat dikategorikan sebagai “Transisi”. Sementara itu, aktivitas yang tidak memenuhi kriteria dan tidak memiliki rencana aksi untuk perbaikan tetap berada dalam “Tidak Memenuhi Klasifikasi”.
“Dengan berbagai perluasan cakupan ini, TKBI Versi 2 tidak hanya memperkuat komitmen Indonesia dalam mewujudkan ekonomi berkelanjutan, tetapi dapat membantu semakin memperkecil celah bagi praktik greenwashing, sehingga menjadi instrumen penting dalam membangun kepercayaan investor terhadap produk keuangan hijau, serta memastikan bahwa investasi yang dilakukan benar-benar berdampak positif bagi lingkungan dan masyarakat,” kata Yuliana.
(kunthi fahmar sandy)