"Di manapun di seluruh dunia, tidak ada entitas penyelenggara bursa efek yang menjadi bursa karbon. Manajemen risikonya berbeda, penilaian juga berbeda," kata Misbakun dalam diskusi publik kemarin, Jumat (12/5/2023).
Dalam kesempatan yang sama, Anggota DPR Komisi XI, Kamrussamad mengatakan bahwa OJK harus clear menempatkan lembaganya sebagai regulator serta mendengarkan semua stakeholder peminat bursa karbon dalam mengatur perdagangan sekunder instrumen yang berkaitan dengan nilai ekonomi karbon di bursa karbon.
Oleh karena itu perlu pembuatan regulasi mendengarkan aspirasi pelaku usaha karbon dalam penyediaan peraturan OJK. “Harus inklusif dan adil bagi semua pelaku usaha” ucap Kamrussamad.
Sementara itu menurut ekonom, kehadiran aturan teknis bursa karbon perlu memfasilitasi setiap penyelenggara yang potensial.
“Belajar dari studi kasus bursa karbon di berbagai negara, termasuk Swedia, penyelenggara bursa karbon dapat berasal dari perusahaan berbasis teknologi bukan berasal dari bursa efek, dan itu sah- sah saja. Khawatir jika aturan teknis memberikan preferensi khusus pada penyelenggara bursa efek akan menghambat inovasi pengembangan bursa karbon," ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira.
Selain itu, dia juga menilai ketika regulasi bursa karbon berburu dengan deadline, kualitas dari regulasi harus tetap perlu dijaga.
“Waktu yang ada hingga aturan teknis terbit bulan Juni perlu dimanfaatkan oleh OJK dalam merumuskan sebaik mungkin kesiapan pendaftaran hingga mekanisme pengawasan bursa karbon, sehingga bursa karbon yang hadir di Indonesia dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, dan mencegah perusahaan luar negeri yang ingin melakukan greenwashing berlomba-lomba masuk ke bursa karbon Indonesia.” ujar Bhima.
(FRI)