sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

OPEC+ Pangkas Produksi Minyak, Rusia hingga Arab Saudi Paling ‘Cuan’

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
10/10/2022 13:57 WIB
Tak tanggung-tanggung, jumlah produksi yang akan dipangkas OPEC+ mencapai 2 juta barel per hari (bpd), setara dengan 2% dari pasokan global minyak mentah.
OPEC+ Pangkas Produksi Minyak, Rusia hingga Arab Saudi Paling ‘Cuan’. (Foto: MNC Media)
OPEC+ Pangkas Produksi Minyak, Rusia hingga Arab Saudi Paling ‘Cuan’. (Foto: MNC Media)

Kondisi ini mendorong IOC seperti BP, Royal Dutch Shell dan ExxonMobil harus berjuang melawan dominasi pasar NOC yang mewakili perusahaan minyak milik negara seperti Saudi Aramco, Rosneft atau Gazprom.

Keputusan NOC ditentukan oleh negara dan belum tentu melihat pada pasar minyak global. Sementara keputusan IOC didorong oleh investor dan kemajuan teknologi.

Sementara, bisnis NOC juga didorong oleh motif politik yang signifikan. Kondisi ini seringkali dapat memberi mereka keuntungan dibandingkan IOC.

IOC berada pada posisi yang kurang menguntungkan karena sedikitnya akses terhadap cadangan minyak.

Menurut Forum Energi Internasional, IOC hanya memiliki akses ke sekitar 14% dari cadangan migas dunia dan hanya bergantung pada proyek yang memiliki nilai keekonomian, Sedangkan NOC tidak memperhitungkan kalkulasi untung rugi jika itu dapat mendukung posisi politik negara.

Inilah gambaran yang terjadi di Rusia dan Eropa. Gazprom memiliki kewenangan untuk tidak menyalurkan minyaknya ke Eropa dan mengancam benua Biru dengan kelangkaan energi menyusul dukungan Barat terhadap Ukraina.

Sementara Arab Saudi, sebagai pemimpin OPEC, memimpin pangsa terbesar pasar minyak hingga mendapat profit jumbo dari penjualan minyak senilai USD105,36 miliar.

Hingga April 2022, Gazprom juga memperoleh profit terbesar kedua mencapai USD25,44 miliar dibanding 11 perusahaan migas lainnya, mengutip Forbes Fortune 2000. (Lihat tabel di bawah ini)

Kondisi ini akan menghilangkan persaingan dan memungkinkan kartel, termasuk OPEC, untuk memiliki kontrol lebih besar atas pasokan dan penetapan harga global.

Terang saja Biden merespon aksi ini dengan reaksioner karena pemotongan produksi ini pasti akan berdampak pada terguncangnya stabilitas harga energi global, termasuk di AS.

Menurut analis Swissquote, Ipek Ozkardeskaya, pemotongan besar-besaran ini bisa menjadi bumerang bagi OPEC+ jika investor khawatir hal tersebut akan mendorong inflasi lebih tinggi dan memaksa bank sentral menaikkan suku bunga sehingga memicu resesi.

"Semakin tinggi harga energi, semakin tajam bank sentral harus menekan permintaan untuk menarik harga lebih rendah," katanya mengutip Aljazeera.

Langkah itu juga bisa menempatkan kawasan seperti Eropa dalam posisi yang sulit. Banyak negara Eropa telah memberlakukan batasan harga pada minyak Rusia. Tetapi Putin menahan ekspor ke negara-negara yang memberlakukan batasan tersebut.

Menurut analisis Financial Times, pemotongan produksi ini akan berdampak pada penurunan pasokan lebih lanjut. Langkah ini dapat menghambat upaya untuk menekan Rusia memperoleh pemasukan dari minyak setelah invasi Rusia ke Ukraina.

Profesor Adam Pankratz dari Universitas British Columbia, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa harga minyak mungkin akan naik dengan adanya pemangkasan produksi dan minyak akan menjadi komoditas yang langka. (ADF)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement