Untuk mengatasi kontraksi ekonomi ini, pemerintah mengklaim secara aktif memberikan insentif kepada dunia usaha dalam merespon dampak Covid-19.
Pada 2021, kerja keras pemerintah berdampak pada kinerja ekonomi yang berangsur pulih yang juga tecermin pada tren peningkatan perpajakan.
Tahun ini, Kemenkeu menetapkan target penerimaan pajak mencapai Rp2.021,2 triliun. Target ini merupakan tertinggi sepanjang sejarah.
“Dengan kondisi pemulihan ekonomi tahun 2023 yang diperkirakan akan semakin menguat, Pemerintah optimis bahwa pendapatan negara khususnya penerimaan perpajakan akan terus meningkat,” tulis rilis Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pada pertengahan September tahun lalu.
Namun, tahun ini dunia diproyeksi akan menghadapi resesi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Merujuk yang terjadi pada 2020 saat pandemi Covid-19 memuncak, pemerintah menggelontorkan berbagai insentif pajak untuk mendukung perekonomian nasional.
Saat ini, tingginya inflasi meningkatnya beban ekonomi masyarakat akibat kenaikan harga barang dan jasa. Jika resesi terjadi, hal ini juga akan menuntut stimulus ekonomi guna menjaga daya beli, termasuk mungkin saja insentif pajak.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian bagi pemangku kebijakan. Menurut Asep M. Zatnika, researcher dari MUC Tax Research Institute pada akhir tahun lalu menyatakan evaluasi menyeluruh perlu dilakukan dan sektor ekonomi yang mulai pulih harus dikeluarkan dari daftar penerima insentif pajak.
“Bicara stimulus ekonomi, insentif pajak sejatinya tetap diperlukan. Namun, penyalurannya harus selektif dan lebih terukur. Jangan sampai temuan BPK—terkait pemberian insentif yang salah sasaran di masa pandemi—terulang kembali,” ujarnya mengutip website MUC Tax Research Institute. (ADF)