"Jika dilihat dari satu tahun pandemi, hasil survei kami di bulan Maret dan Agustus ada kesamaan, yaitu total yang berpotensi bangkrut dan sudah bangkrut sama-sama 40 persen. Bedanya, ada kenaikan signifikan UMKM yang sudah bangkrut," ungkapnya.
Menurut Tedy, jika dilakukan flashback ke belakang, Indonesia mengalami dua kali krisis, yaitu krisis moneter 1998 dan Covid-19. Di tahun 1998, UMKM menjadi pahlawan ekonomi, tapi juga ada yang bangkrut saat itu. Data BPS menunjukkan bahwa 7,42 persen UMKM yang bangkrut saat krisis 1998. "Dapat disimpulkan bahwa dampak pandemi Covid-19 lebih parah terhadap UMKM dibandingkan krisis moneter 1998," terangnya.
Juga, sambung Tedy, dominan pelaku UMKM di Indonesia ini berpendidikan rendah, 71 persen lebih pelaku UMKM tidak mengerti cara membuat laporan keuangan.
"Bagaimana mungkin kalau RUU tentang pajak UMKM diwajibkan dan dilakukan pelaku UMKM tanpa pembinaan yang cukup membutuhkan waktu lama? Apalagi di situ tertulis petugas pajak diberikan kewenangan secara hukum," tegasnya.
Data selanjutnya, sebanyak 99,6 persen pelaku UMKM adalah usaha mikro. Mereka dominan usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok, bermodal kecil, dan banyak menampung pengangguran. "Istilah sederhananya, 'daripada nganggur, mending usaha'," ungkap Tedy.