IDXChannel - Rencana Gaszprom dan Nord Stream AG berencana untuk mematikan sementara jalur pipa gas Nord Stream 1 selama 10 hari. Jika itu dilaksanakan, maka Eropa diprediksi akan memasuki masa krisis energi ekstrem untuk pertama kalinya.
Ya, Rusia segera mematikan jalur tersebut dalam rangka perawatan rutin tahunan. Namun, banyak pihak yang meyakini masa 10 hari bisa bertambah bergantung pada temuan kerusakan lain di sepanjang pipa gas tersebut.
Tak heran, sejumlah negara-negara di Eropa kini tengah dihantui masalah pasokan gas yang berpotensi hilang, di mana komoditas migas itu menyumbang 40 persen impor energi di kawasan tersebut.
“Ini adalah krisis energi paling ekstrem yang pernah terjadi di Eropa,” kata pakar pasar gas global di Rapidan Energy Group, Alex Munton, dikutip dari Foreign Policy, Selasa (12/7/2022).
Tidak hanya itu, mimpi buruk para pemimpin di benua biru akan semakin menjadi jika Moskow memutuskan memangkas jumlah alirannya sebagai balasan atas rangkaian sanksi atas agresi militer mereka ke Ukraina.
“Eropa [sedang] melihat prospek yang sangat nyata dari tidak memiliki cukup gas saat paling dibutuhkan, yaitu selama bagian terdingin tahun ini,” tambah Munton.
Jika itu terjadi, maka secara harga energi akan meroket secara drastis, sekaligus memaksa sejumlah negara untuk mencari sumber energi lainnya, seperti Norwegia dan Afrika Utara. Namun, sejauh ini belum mendapatkan titik temu.
Munton mencatat, harga energi telah mengalami lonjakan cukup tinggi dan bahkan hampir menyentuh USD50 per MMBTu. Harga tersebut sudah melampaui harga gas alam AS yang jumlahnya sudah mencapai sepuluh kali lipat.
“Harga telah melonjak tinggi. Itu adalah harga yang luar biasa tinggi untuk membayar gas alam, dan benar-benar tidak ada jalan keluar segera dari sini."
Sementara itu, McKinsey menyebut harga energi di Eropa meroket cukup tinggi pada kuartal pertama, yang disebabkan sejumlah sentimen mulai dari pasca-pandemi Covid-19, naiknya permintaan dan konflik di Ukraina.
"Pada kuartal pertama 2022, harga gas jangka pendek di bursa Eropa terbesar lima kali lebih tinggi dari rata-rata 2021," beber lembaga McKinsey dalam pernyataannya.
Seperti diketahui, Nord Stream 1 yang memasok sekitar 55 miliar meter kubik gas akan dimatikan sementara selama 10 hari.
Operator Nord Stream AG memastikan berencana mematikan jalur pipa yang membentang di Laut Baltik tersebut pada pukul 06.00 waktu Eropa tengah (CET). Dengan demikian, aliran gas akan turun menuju angka nol pada beberapa jam mendatang.
Kondisi itu membuat pemerintah dan industri resah, apalagi Rusia bisa saja memperpanjang jadwal pemeliharaan sekaligus membatasi pasokan gas ke Eropa lebih lanjut.
Jika itu terjadi, maka rencana untuk mengisi penyimpanan untuk musim dingin akan kacau, serta meningkatkan krisis gas yang telah mendorong tindakan darurat dari pemerintah dan tagihan yang sangat tinggi bagi konsumen.
Menteri Ekonomi Jerman, Robert Habeck, mengakui negaranya itu harus bersiap menghadapi kemungkinan di mana Rusia akan menangguhkan pasokan gas melalui Nord Stream 1 di luar periode pemeliharaan yang dijadwalkan.
"Berdasarkan pola yang telah kita lihat, tidak akan terlalu mengejutkan sekarang jika beberapa detail teknis kecil ditemukan dan kemudian mereka bisa mengatakan 'sekarang kita tidak bisa menyalakannya lagi'," keluh dia di sebuah acara di akhir Juni.
Tidak hanya itu, Eropa juga akan terpukul dengan resesi jika aliran gas Rusia berhenti. Pukulan terhadap ekonomi bisa mencapai 193 miliar euro (setara dengan Rp2.920,8 triliun) pada paruh kedua tahun ini, demikian data dari asosiasi industri vbw di negara bagian Bavaria bulan lalu.
"Penghentian tiba-tiba impor gas Rusia juga akan berdampak signifikan pada tenaga kerja di Jerman ... Sekitar 5,6 juta pekerjaan akan terpengaruh sebagai konsekuensinya," kata direktur pelaksana vwb, Bertram Brossardt.
Tidak hanya ekonomi, berhentinya pasokan akan lebih luas lagi. Penghentian total akan membuat harga gas Eropa lebih tinggi lebih lama, karena telah menyengat industri dan rumah tangga.
Harga gas grosir Belanda, patokan Eropa, telah meningkat lebih dari 400% sejak Juli lalu.
"Jika Nord Stream terputus, atau jika Jerman kehilangan semua impor Rusia, maka efeknya akan terasa di seluruh Eropa barat laut," kata menteri energi Belanda, Rob Jetten. (TYO)