Terlebih eksportir industri manufaktur. Kata dia, industri ini tak perlu disuruh parkir di dalam negeri, mereka akan parkir selama instrumen pembiayaannya dipermudah.
Lantaran, industri ini putarannya sangat cepat sekali. Di mana barang hasil ekspornya harus segera dicadangkan untuk melakukan pembelian bahan baku maupun bahan penunjang dari luar maupun dari dalam negeri.
"Khususnya dalam hal ini manufaktur itu kan sebenarnya yang dipertandingkan manufacturing cost karena bahan baku diulang-ulang, dijual nanti dibeli lagi terus dijual dibeli lagi," terang Benny.
Lebih jauh Benny menyarankan, sebaiknya pemerintah Indonesia dapat belajar dari Hongkong yang telah membolehkan penggunaan Letter of Credit (LC) sebagai jaminan untuk membeli bahan baku ke luar negeri. Pasalnya, sampai saat ini Indonesia masih menggunakan jaminan fisik dalam bertransaksi.
"Kalau kita sampai saat ini belum bisa. Jadi kalau di dalam negeri itu tetap lembaga keuangan meminta jaminan fisik yaitu apakah rumah, atau tanah sebagai jaminan pembiayaan itu sendiri. Maka banyak eksportir kita diantaranya yang mengembangkan aktivitas ekspornya melalui pembiayaan dari luar," bebernya.