"Tidak ada pengenaan pajak untuk pemasukan daging karena mengejar keterjangkauan harga dan protein. Fokus pada pengembangan industri dengan menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga kompetitif," ucapnya.
Sedangkan di Indonesia, menurutnya, pemerintah belum secara maksimal menerapkan praktek Good Corporate Gorvernance kebijakan pemasukan daging. Inflasi harga daging India keperluan industri dalam kurun waktu 5 bulan sudah naik 27 persen dan tidak ada satupun institusi yang bisa menahan.
"Konsumsi daging merah masih terbatas, namun harga pembelian di dalam negeri jauh lebih tinggi dengan harga internasional. Perbandingan harga daging kerbau, daging keperluan konsumen Malaysia dengan Indonesia 17 persen lebih murah Malaysia. Sedangkan daging industri trimming/slice antara Malaysia dengan Indonesia selisih sangat besar di atas 50 persen, perlu deregulasi kebijakan untuk pemasukan kebutuhan industri," ungkapnya.
Padahal, Ia menambahkan, daging kerbau India untuk industri seharusnya dijaga agar tidak naik saat pandemi sehingga produksi dapat terus berjalan. Pengusaha mau berinvestasi karena ada kepastian bahan baku dengan harga yang stabil serta penciptaan lapangan kerja, kenaikan mendekati 30 persen adalah hal yang harusnya sudah luar biasa.
"Industri memerlukan kepastian pasokan bahan baku dan juga kestabilan, kita kalah jauh dengan Negara Jiran yang menurut Kilang Pemproses Daging yang berlokasi di Taman Medan Selangor Malaysia membeli daging kerbau jenis slice dan atau trimming dengan harga sekitar Rp 41.000" tuturnya.