Pendapat Nur Khabsin itu diamini oleh Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori. Dengan proses produksi yang minim dari sentuhan pemerintah, sudah sewajarnya harga gula dilepas ke harga pasar. Bila tidak, maka pihak petani akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Biaya produksi tinggi, akses terhadap pupuk subsidi dibatasi, namun harga jual hasil perkebunan maupun produk hilirnya dibatasi pemerintah.
"Karena HET (kini disebut Harga Acuan Pemerintah/HAP) itu mengikat publik. Mestinya, jika HET diberlakukan, sebaiknya hanya mengikat pemerintah dan operator yang ditugaskan untuk menjaga kestabilan harga, seperti Bulog atau ID Food," bebernya.
Dihubungi terpisah, Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo, juga menilai butuh adanya penyesuaian HPP di tingkat petani. "Memang harus kita sesuaikan agar terjadinya keseimbangan baru. Ada beberapa biaya produksi pembentuk harga yang naik, sehingga wajar bila ada penyesuaian," tutur dia.
Adapun usulan kenaikan itu, lanjut dia, akan dibawa dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) terkait harga pembelian dan penjualan gula oleh Badan Pangan Nasional yang rencananya digelar hari ini.
"Masukan dari Petani Tebu, Kementerian dan Lembaga sudah kita siapkan untuk Rakornis. Setelah Rakornis, kita jadwalkan Rakortas untuk kita tetapkan harga wajar di tingkat Petani dan Harga Wajar di Pabrik dan Konsumen seperti Permintaan Presiden," pungkasnya.
(DES)