Jika menelaah data Kementerian Kesehatan yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki tenaga kesehatan mencapai 1,4 juta orang pada 2022.
Perawat menduduki jumlah terbanyak dengan jumlah 563 ribu orang. Di peringkat ke dua, ada bidan dengan jumlah 336 ribu orang. Sedangkan jumlah dokter berada di urutan ke tiga sebanyak 176 ribu saja. (Lihat grafik di bawah ini.)
Jumlah dokter ini terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Di posisi ke empat, ada tenaga kefarmasian atau apoteker dengan jumlah 121 ribu orang dan tenaga biomedika dengan jumlah 75 ribu orang pada urutan ke lima.
Adapun jumlah yang paling sedikit adalah psikolog klinis dengan jumlah 1,2 ribu orang dan tenaga kesehatan tradisional sebanyak 422 orang.
Menurut data World Health Organization (WHO) yang dihimpun Index Mundi, pada 2019 Indonesia hanya memiliki 0,47 dokter per 1.000 penduduk. Rasio ini jauh di bawah standar WHO dengan minimal 1 dokter per 1.000 penduduk.
Indonesia bahkan menduduki peringkat ke-139 dari 194 negara dengan jumlah rasio dokter kecil bahkan kalah saing dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam, hingga Malaysia. (Lihat grafik di bawah ini.)
Pada 2022, jumlah dokter di RI bertambah sekitar 3 persen dibanding 2021. Ini juga menjadi rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Adapun berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah dokter spesialis hanya sebesar 54.190 dokter spesialis. Artinya hanya ada 0,2 dokter spesialis per 1.000 penduduk, atau 200 dokter per 1 juta penduduk.
3. Perusahaan Tak Wajib Daftarkan BPJS Kesehatan
UU Kesehatan yang baru juga tak mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan. Dalam UU terbaru, hanya ada bunyi pasal 100 (1) yang hanya mewajibkan pemberi kerja menjamin kesehatan pekerja melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerjanya.
Hal ini tertuang dalam beleid terbaru yang disahkan Sidang Paripurna DPR pada Selasa (11/7/2023). Dalam beleid terbaru, menghilangkan istilah BPJS Kesehatan yang tadinya ditemukan pada draf terakhir.
Ini akan menjadi persoalan serius. Salah satu staf BPJS Kesehatan Regional Jawa Timur, narasumber IDX Channel yang tidak ingin sebutkan namanya mengatakan, kebijakan ini akan memberatkan para pekerja terutama buruh.
“Selama ini perusahaan keberatan dengan adanya kewajiban BPJS Kesehatan bagi pekerja. Namun, UU terbaru ini membuat buruh akan semakin tertekan. Mereka buat hidup sehari-hari saja susah, apalagi untuk membawar iuran BPJS,” katanya kepada IDX Channel, Kamis (13/7/2023).
4. Persoalan STR hingga SIP
Dalam UU Kesehatan 2023, menghapus rekomendasi organisasi profesi dalam penerbitan Surat Izin Praktik (SIP). Berdasarkan draf final pasal 264, syarat mendapatkan SIP hanya memerlukan surat tanda registrasi (STR) aktif dan memiliki tempat praktik.
Hal ini diatur dalam pasal 235 Ayat 1 UU Kesehatan di mana tenaga kesehatan harus memiliki STR, alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi.
IDI menyebut, aturan ini sama saja mencabut peran organisasi profesi terkait persyaratan praktik tenaga kesehatan.
Dengan aturan ini, maka seorang dokter tidak lagi memerlukan surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi demi memperoleh SIP.