Sementara, perubahan iklim telah menambah tekanan pada proses produksi dan harga hasil pertanian. Dengan meningkatnya suhu bumi, hal ini berdampak pada terjadinya kekeringan, banjir, hingga munculnya wabah hama dan penyakit bagi tanaman.
Kerentanan pangan yang menunjukkan tren peningkatan ini juga semakin didorong oleh eskalasi konflik Rusia-Ukraina yang masih memanas.
Inflasi harga pangan domestik hampir terjadi di semua negara berpenghasilan rendah dan menengah antara Juni dan September 2022, tak terkecuali di negara-negara G20.
Merujuk data World Bank, negara kaya mengalami inflasi pangan sebesar 84,2%. Sementara negara berpenghasilan menengah ke bawah mengalami inflasi pangan sebesar 88,9%. Serta 93% negara berpenghasilan menengah ke atas juga mengalami inflasi pangan.
Negara-negara ini secara umum bahkan mengalami tingkat inflasi di atas 5%, bahkan mengalami inflasi dua digit.
Negara-negara berpenghasilan tinggi, termasuk beberapa di antaranya adalah negara G20 mengalami inflasi tinggi. Adapun sekitar 87,5% mengalami inflasi harga pangan yang tinggi.
Negara-negara yang paling terkena dampak kerentanan pangan ini tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Latin, Asia Selatan, Eropa, hingga Asia Tengah.
Secara riil, inflasi harga pangan melebihi inflasi keseluruhan mencapai 84% dari 163 negara berdasarkan indeks harga konsumen (IHK) pangan.
Ancaman krisis pangan ini dibarengi dengan tingginya harga komoditas seperti energi di banyak negara. Hal ini menyusul banyaknya mata uang yang terdepresiasi akibat menguatnya dolar AS terhadap sejumlah nilai tukar mata uang.
Sebagai contoh, selama Februari 2022 hingga September 2022, harga minyak mentah Brent dalam dolar AS turun hampir 6%. Namun, karena depresiasi mata uang, hampir 60% pasar negara berkembang pengimpor minyak dan berbagai negara berkembang ini harus menghadapi kenaikan harga minyak karena harus membeli memakai dolar AS.
Hampir 90% dari 163 negara ini juga mengalami kenaikan harga gandum yang lebih besar dampak dari kenaikan dolar AS.
Proteksionisme Perdagangan
Kondisi ini diperparah dengan tindakan proteksionisme negara-negara penghasil komoditas utama pangan.
Penetapan kebijakan pengaturan perdagangan pada pangan dan pupuk telah melonjak sejak awal perang Rusia-Ukraina dimulai.
Banyak negara secara aktif menggunakan kebijakan perdagangan untuk merespon kebutuhan beberapa komoditas penting dalam negeri ketika menghadapi potensi kekurangan pangan sejak awal pandemi Covid-19.
Pembatasan ekspor komoditas pangan utama tercatat oleh World Bank dilakukan oleh dua puluh negara dengan menerapkan 25 larangan ekspor makanan, dan delapan negara menerapkan 12 tindakan pembatasan ekspor. (Lihat tabel di bawah ini)
Ini adalah persoalan yang harus dipikirkan para pemimpin dunia dalam Global Food Security Forum.
Bahan pangan yang diperdagangkan dalam pasar global tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Namun juga sebagai bahan baku yang penting bagi industri pangan.
Sebelumnya, isu kelangkaan dan kenaikan harga gandum disebut akan berpengaruh pada kenaikan harga mi instan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan harga mi kering instan telah melonjak 10,58% pada Agustus 2022 bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kondisi ini menggambarkan bagaimana ancaman ketahanan pangan tidak hanya mengancam nasib perut manusia melainkan juga ekosistem industri pangan secara keseluruhan. (ADF)