Prof. Arief menambahkan, layanan kereta cepat dan Argo Parahyangan tidak persis sama dan ada heterogeneitas dalam kebutuhan konsumen pengguna.
Jika pemerintah tetap memaksakan untuk menutup layanan Argo Parahyangan, Prof. Arief berpendapat, secara ekonomi, sangat mungkin akan banyak segmen penumpang beralih ke moda transportasi lain, salah satunya adalah angkutan shuttle bus.
Untuk itu, menutup layanan Argo Parahyangan yang mampu mengangkut sekira 8.000 penumpang per hari untuk beralih ke KCJB dengan target angkut 30.000 penumpang per hari bukan menjadi solusi yang baik.
Lebih lanjut Ketua Dewan Profesor Unpad tersebut menjelaskan, sebagai monopoli jasa perkeretaapian di Indonesia, pemerintah melalui PT KAI perlu mementingkan kepentingan konsumen ketimbang pemilik modal. Menghilangkan Argo Parahyangan menurutnya akan berpotensi menyengsarakan konsumen.
“Monopoli yang terjadi secara alami seperti jasa kereta api ini perlu diregulasi atau dikelola monopolinya oleh negara agar kepentingan konsumen terjaga. Tetapi kalau pengelolaan monopoli ini malah mengabaikan kepentingan konsumen ini jadi regulasi monopoli salah kaprah. Kalau struktur pasarnya ada pesaing, masyarakat akan punya alternatif. Tetapi ini ‘kan tidak,” tegasnya.
Sementara itu, staf Khusus (Stafsus) Menteri BUMN Arya Sinulingga membantah kabar penghentian operasional Argo Parahyangan.
“Jadi, kalau dikatakan mengabaikan rakyat bawah enggak juga. Karena transportasi untuk ekonomi rakyat bawah dihapuskan enggak mungkin,” kata Arya di Kementerian BUMN, Selasa (6/12).
Nilai Ekonomi Kereta Cepat China
Di negeri asalnya, China, KCJB ini dikenal dengan sebutan High-speed rail (HSR) atau bullet trains. HSR berkembang pesat di China sejak pertengahan tahun 2000an dan diperkenalkan secara resmi pada April 2007 yang menghubungkan Beijing-Tianjin.
HSR China diimpor atau dibangun di bawah perjanjian transfer teknologi dengan pembuat kereta asing termasuk Alstom, Siemens, Bombardier dan Kawasaki Heavy Industries.
Setelah dukungan teknologi awal, para insinyur China telah mendesain ulang komponen kereta api internal dan telah membangun dan memproduksi kereta api dalam negeri yang diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China, CRRC Corporation.
CRRC Corporation Limited (dikenal sebagai CRRC) adalah produsen rolling stock milik negara terbesar di dunia dalam hal pendapatan, melampaui pesaing utamanya Alstom (ALO.PA) dan Siemens (SIEGY).
Mengutip Yahoo Finance, kapitalisasi pasar CRRC mencapai HKD150,5 miliar atau setara USD19,33 miliar (kurs HKD0,13 terhadap dolar AS). (Lihat grafik di bawah ini.)
Istilah rolling stock sendiri dalam industri transportasi kereta api meliputi komponen lokomotif dan gerbong barang dan penumpang.
Proyek pembangunan rel HRS ini sangat padat modal. Sekitar 40–50% pembiayaan disediakan oleh pemerintah pusat melalui pinjaman dari bank dan lembaga keuangan milik negara. Sementara 40% lainnya oleh obligasi yang diterbitkan oleh Kementerian Perkeretaapian (MOR) dan sisanya 10–20% oleh pemerintah provinsi dan lokal.
MOR melalui badan pembiayaannya, China Rail Investment Corp (CRIC), mengeluarkan utang sekitar ¥1 triliun atau setara USD150 miliar dalam dolar tahun 2010. Uang ini untuk membiayai pembangunan HSR dari tahun 2006 hingga 2010, termasuk ¥310 miliar dalam 10 bulan pertama tahun 2010.
CRIC juga meningkatkan modal melalui penawaran saham di mana CRIC menjual 4,5% saham di kereta api cepat Beijing–Shanghai kepada Bank of China seharga ¥6,6 miliar dan 4,5% saham kepada publik seharga ¥6 miliar.
CRIC mempertahankan 56,2% kepemilikan saham. Pada 2010, obligasi CRIC dianggap sebagai investasi yang relatif aman karena didukung oleh aset (kereta api) dan secara implisit oleh pemerintah.
Namun, berbeda kasus dengan Indonesia. Proyek KCJB mengalami cost overrun hingga Rp 21 triliun. Total investasi kereta cepat diperkirakan antara Rp 114,24 triliun sampai Rp 118 triliun dari awalnya terhitung sebesar Rp84 triliun.
Ironisnya, boncos ini harus ditambal dengan APBN oleh pemerintah.
Dampaknya, proyek ini seharusnya rampung pada 2019, tetapi diperkirakan baru bisa selesai di pertengahan tahun 2023 alias molor 4 tahun.
Diketahui, 75% proyek ini didanai utang dari China dengan bunga 2 % dan tenor 40 tahun.
Sementara, sisanya sebesar 25% investasi merupakan modal dari konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari 5 perusahaan China dan 4 perusahaan BUMN Indonesia.
Adapun 5 perusahaan China juga disebut memegang saham KCIC sebesar 40%,
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) bertanggung jawab atas pengerjaan proyek KCJB.
Perusahaan itu merupakan gabungan dari konsorsium Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (60% saham), dan konsorsium Tiongkok, Beijing Yawan HSR Co Ltd (40% saham).
Setelah ditelusuri, Tim Riset IDX Channel belum menemukan informasi apapun terkait konsorsium perusahaan Yawan HSR Co Ltd, baik kapitalisasi pasar hingga kinerja saham.
Konsorsium Indonesia terdiri dari empat perusahaan pelat merah. Wijaya Karya (WIKA) menjadi pemegang saham paling besar, yakni 38%.
Lalu, PT Perkebunan Nusantara VIII dan PT KAI masing-masing memiliki 25% saham. Sisanya dipegang oleh Jasa Marga, sebesar 12%.
Mengutip Cgtn.com, sebanyak 11 KCIC di produksi di Kota Qingdao, China timur. Kereta yang dirancang dan diproduksi oleh CRRC Qingdao Sifang Co.Ltd ini diangkut ke Indonesia. Kontrak senilai USD364,5 juta, diberikan kepada CRRC pada April 2017.