IDXChannel - Transportasi publik menjadi urgensi di Indonesia dalam menopang kebutuhan bepergian dan aktivitas sehari-hari warga.
Moda transportasi umum, seperti kereta api atau kereta listrik, semakin populer di kota besar, utamanya DKI Jakarta.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menjadi perhatian publik setelah belum lama ini menuai pro kontra.
KCJB diproyeksikan akan menggantikan KA Argo Parahyangan, kereta yang dioperasikan oleh PT. KAI relasi Jakarta-Bandung.
Perbedaan tarif dan waktu tempuh Jakarta-Bandung yang mencolok menuai hujatan netizen. Jika menggunakan KA Argo Parahyangan, masyarakat dapat mengeluarkan biaya Rp 135.000 untuk kelas kereta eksekutif. Sementara untuk kelas Ekonomi tarifnya adalah Rp 95.000.
Jarak tempuh KA Argo Parahyangan dari Jakarta ke Bandung yang berjarak 173 km rata-rata 3 jam 15 menit.
Penumpang juga punya pilihan kereta lainnya, yakni Argo Parahyangan Excellence yang diluncurkan dan mulai beroperasi sejak 1 Oktober 2019. Tarif yang dikenakan pada penumpang adalah Rp 150.000 untuk kelas eksekutif dan Rp 110.000 untuk kelas premium.
Sementara KCJB dibanderol Rp 150.000 hingga Rp350 ribu dengan waktu lebih singkat yakni sekitar kurang lebih 30 menit. (Lihat tabel di bawah ini.)
Salah satu yang menjadi soal adalah letak stasiun pemberhentian di wilayah Bandung yang cukup jauh dari pusat kota, yakni di stasiun Padalarang.
Guna menyiasati hal ini, KAI sedang menyiapkan KA Feeder beserta ruang tunggunya yang akan berhenti di Stasiun Padalarang, Cimahi, dan Bandung.
"Layanan ini disediakan untuk memudahkan pelanggan Kereta Api Cepat yang ingin melanjutkan perjalanan ke wilayah Cimahi maupun pusat Kota Bandung," ujar Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo dalam keterangan tertulis.
Dilema Transportasi Publik di RI
Keterbatasan infrastruktur dan pemerataan penyediaan moda transportasi publik memang menjadi persoalan serius bagi Indonesia.
Mengingat kondisi geografis yang terdiri dari bentang alam yang beragam dan sulit untuk dilakukan pembangunan.
Selama ini, penggunaan transportasi publik hanya terbatas di kota besar saja. Malah, Kereta jenis Mass Rapid Transit (MRT) masih tersedia hanya di Jakarta.
Sementara, Commuter Line atau sistem transportasi angkutan cepat komuter berbasis Kereta Rel Listrik juga masih hanya tersedia di Jakarta, dan Solo Balapan-Palur.
Kondisi ini mencerminkan pengguna transportasi berbasis kereta cepat/listrik masih terpusat di Jakarta.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 51,24% pekerja Indonesia menggunakan kendaraan pribadi atau dinas pada 2020. Sementara, pengguna kendaraan umum lebih kecil, yakni 41,93%.
Proporsi tersebut mengalami pergeseran dibanding tahun sebelumnya. Pada 2019 pengguna kendaraan pribadinya lebih banyak lagi, yakni 83,76%, sedangkan pengguna kendaraan umum 11,81%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara, KCJB juga belum bisa dikatakan merepresentasikan kebutuhan kaum urban terutama yang tinggal di sekitar Jakarta-Bandung, terutama untuk kebutuhan bekerja.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Prof. Arief Anshory Yusuf, PhD, mengutip unpad.ac.id, pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru mematikan operasional KA Argo Parahyangan saat KCJB beroperasi.
“Biarkan konsumen memilih dahulu kereta cepat atau Argo Parahyangan. Bila betul nanti kereta cepat lebih baik maka konsumen akan beralih secara alamiah. Jangan terburu-buru kalau belum jelas terbukti. Kebijakan jangan hanya dibikin berbasis asumsi,” kata Prof. Arief.