sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Proyek Kereta Cepat dan Dilema Transportasi Publik di Indonesia

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
09/12/2022 08:00 WIB
Transportasi publik menjadi urgensi di Indonesia dalam menopang kebutuhan bepergian dan aktivitas sehari-hari warga.
Proyek Kereta Cepat dan Dilema Transportasi Publik di Indonesia. (Foto: MNC Media)
Proyek Kereta Cepat dan Dilema Transportasi Publik di Indonesia. (Foto: MNC Media)

Jika dibandingkan dengan pembangunan MRT Fase 1, pemerintah menghabiskan Rp16 triliun melalui pinjaman luar negeri dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Namun saham MRT dikuasai 99,99% oleh Pemprov DKI Jakarta.

Sumber pendanaan MRT diketahui 49% dari pemerintah pusat dan JICA memgang pendanaan 51%.

Balik modal baru akan terasa dalam 40 tahun dengan kisaran harga tiket Rp300 ribu rupiah dengan asumsi gerbong KCJB penuh setiap harinya.

Sementara jika dibandingkan dengan China, sebuah studi Bank Dunia tahun 2019 memperkirakan tingkat pengembalian ekonomi jaringan kereta api berkecepatan tinggi China berada pada 8%.

Dalam studi tersebut, ada kekhawatiran atas biaya awal, utang, dan profitabilitas dari proyek tersebut.

Sebuah penelitian Paulson Institute telah memperkirakan bahwa manfaat bersih dari kereta api berkecepatan tinggi untuk ekonomi China menjadi sekitar USD378 miliar dan laba atas investasi tahunan sebesar 6,5%.

Debt-Trap China Berkedok Investasi?

Dominasi perusahaan China di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sangat terasa di hampir semua aspek.

Mulai dari tenaga kerja asing, pembiayaan, hingga perusahaan kontraktor yang menggarap proyek ini.

Besarnya aliran uang China ke proyek KCJB rawan menempatkan Indonesia pada pada jebakan debt-trap diplomasi China.

Jenis diplomasi ini mulai dikenal saat China meluncurkan program Belt and Road Initiative (BRI).

Melalui debt-trap diplomacy, China akan mendapat kepemilikan suatu inftrastruktur negara peminjam dengan balasan pelunasan utang.

Meskipun dalam sebuah kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan membantah hal tersebut.

Luhut dengan tegas menolak anggapan tersebut karena seluruh uang yang didapatkan dari China merupakan utang yang produktif. Selain itu, tidak ada hidden debt yang dimiliki RI terhadap Beijing.

"Itu adalah utang produktif. Wong saya yang menangani kok," ujarnya di akhir bulan Mei lalu.

Sebagai contoh, Sri Lanka merupakan salah satu negara yang mengalami debt-trap diplomacy dan dapat dikatakan memiliki ketergantungan dengan pinjaman dana dari pemerintah China.

Terjeratnya Sri Lanka dalam debt trap diplomacy disebabkan faktor internal karena kondisi ekonomi Sri Lanka yang kurang stabil.

Kondisi itu mendorong China masuk dalam pendanaan pembangunan infrastruktur pelabuhan, yakni Hambantota International Port (HIP) dan Colombo Port City (CPC).

China mampu memberikan pengaruh dalam pembangunan suatu infrastruktur dan pengambilan keputusan dalam level negara.

Dalam hubungan China-RI, negeri Tirai Bambu merupakan salah satu negara pemberi utang terbesar bagi Indonesia. (Lihat grafik di bawah ini.)

Diketahui selama ini, hubungan ekonomi RI dengan China juga tak begitu baik. Terlihat dari neraca perdagangan Indonesia yang terpantau selalu defisit. (Lihat grafik di bawah ini.)

Di samping itu, menurut Prof. Arief, proyek KCJB ini jangan sampai menjadi terkesan menuju pada de-development.

De-development merupakan pembangunan yang belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak utama de-development adalah kesejahteraan masyarakat yang stagnan bahkan berkurang meski pembangunan infrastruktur dilakukan.

“Atas nama pembangunan seolah-olah ada pembangunan infrastruktur transportasi canggih, tapi tidak ada maknanya. Kesejahteraan malah turun, safety malah memburuk. Kereta cepat nampak canggih tapi akhirnya rakyat malah balik lagi ke mobil,” kata Prof. Arief. (ADF)

Halaman : 1 2 3 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement