IDXChannel - Hampir tiga minggu terakhir, dunia digemparkan tiga krisis bank besar di Amerika Serikat dan Eropa.
Krisis Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank di negeri Paman Sam dan jatuhnya Credit Suisse, bank berbasis Swiss menciptakan ketegangan besar dalam industri perbankan di beberapa negara di dunia.
Kegagalan SVB, Signature Bank hingga Credit Suisse menempatkan sektor perbankan di AS dan Eropa dalam situasi rentan. Setelah runtuhnya SVB, sebuah studi baru menemukan bahwa 186 bank AS berisiko mengalami nasib serupa.
Sebelum krisis di AS dapat diatasi sepenuhnya, publik juga digemparkan dengan jatuhnya Credit Suisse Bank, salah satu bank terbesar dan tertua di Swiss dan membuat kepanikan yang lebih besar.
Setelah keruntuhan tiga bank besar berturut-turut ini, muncul kekhawatiran krisis ini akan seperti yang terjadi pada 2008 lalu. Bagaimana faktanya?
Pemicu Krisis SVB Hingga Credit Suisse
Runtuhnya SVB disebut datang sangat tiba-tiba, di mana setelah 48 jam dimulai pada Rabu (8/3) hingga Kamis (9/3) para nasabah menarik simpanan secara besar-besaran dan menyebabkan kepanikan yang disebut bank run.
Tapi akar kehancuran SVB sebenarnya telah terjadi selama beberapa tahun belakangan. Seperti banyak bank lain, diketahui SVB telah menginvestasikan miliaran dolar ke dalam obligasi pemerintah AS selama era suku bunga mendekati nol.
Setelah sekian lama dianggap sebagai instrumen yang aman, sayangnya ini tak berlangsung lama karena bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga secara agresif dalam satu tahun terakhir untuk menjinakkan inflasi yang juga meroket.
Saat suku bunga naik, risiko harga obligasi turun mengintai, sehingga lonjakan suku bunga mengikis nilai portofolio obligasi SVB. Menurut laporan Reuters, portofolio SVB dilaporkan menghasilkan pengembalian rata-rata hanya 1,79%, jauh di bawah hasil Treasury 10-tahun sekitar 3,9%.
Adapun bank run oleh nasabah dipicu saat manajemen bank mengumumkan mereka telah menjual efek yang menyebabkan kerugian dan akan menjual USD2,25 miliar saham baru untuk menutup lubang rugi tersebut pada Rabu (8/3).
Hal itu memicu kepanikan di kalangan nasabah, yang menarik uang mereka dalam jumlah besar.
Saham bank tersebut langsung terjun bebas 60% pada Kamis (9/3) dan menyeret saham bank lain turun bersamanya karena investor mulai takut akan terulangnya krisis keuangan global 2008.
Regulator negara bagian California langsung mengintruksikan menutup bank dan menempatkannya dalam pengawasan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), yang biasanya bertugas melikuidasi aset bank untuk membayar kembali deposan dan kreditur.
Selang beberapa saat, keruntuhan SVB diikuti oleh bank regional Signature Bank, yang ditutup oleh regulator federal pada Minggu, (12/3).
Kegagalan bank tersebut diakibatkan oleh kekhawatiran regulator tentang deposan yang menarik uang dalam jumlah besar setelah kegagalan SVB, dan ketakutan akan penularan yang berkelanjutan (contagion effect).
Keruntuhan dua bank ini kemudian menular hingga Swiss, di mana Credit Default Swap (CDS) milik Credit Suisse naik ke rekor tertinggi sebanyak 36 basis poin menjadi 453 basis poin seiring runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) pada Senin, (13/3).
Sebagai informasi, Credit Default Swap (CDS) merupakan sejenis perlindungan/proteksi atas risiko kredit (credit event).
Rekor naiknya CDS ini bukanlah pertanda baik bagi pasar keuangan karena merepresentasikan kondisi pasar yang tengah khawatir efek tular SVB dan terjadinya krisis perbankan.
Hingga pekan lalu, Credit Suisse sepertinya belum menemui babak akhir. Teranyar, sang rival, UBS Group, berniat menyelamatkan raksasa bank asal Swiss tersebut. UBS Group akan membayar 3 miliar franc Swiss (setara USD3,23 miliar) untuk Credit Suisse dan menanggung kerugian hingga USD5,4 miliar dalam kesepakatan yang didukung oleh jaminan besar-besaran oleh bank sentral Swiss
Sebelumnya, Credit Suisse dilaporkan akan meminjam hingga 50 miliar franc Swiss (setara USD53,68 miliar) dari Bank Nasional Swiss di bawah fasilitas pinjaman tertutup dan fasilitas likuiditas jangka pendek.
Namun, kejatuhan Credit Suisse tidak serta merta merupakan kesalahan suku bunga atau inflasi tinggi.
Melansir Forbes, Credit Suisse dikabarkan telah terlibat dalam berbagai skandal yang mengguncang investor dalam beberapa tahun terakhir, termasuk salah kelola dana, yang terungkap dalam laporan keuangan tahun 2022.