sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Sejarah Embargo Minyak, Krisis 1973 hingga Nasib Rusia di Era Modern

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
06/12/2022 15:36 WIB
Melihat keputusan negara G7 dalam mengembargo minyak Rusia sepertinya sejarah krisis minyak akan kembali terulang
Sejarah Embargo Minyak, Krisis 1973 hingga Nasib Rusia di Era Modern. (Foto: MNC Media)
Sejarah Embargo Minyak, Krisis 1973 hingga Nasib Rusia di Era Modern. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Gejolak geopolitik selalu berakhir buruk dalam sejarah perdagangan minyak.  Ketegangan kian terasa setelah negara yang tergabung dalam G7 menjatuhkan sanksi embargo minyak Rusia.

Negara-negara tersebut menetapkan harga tidak lebih dari USD60 per barel untuk produk minyak Rusia.

Embargo adalah pelarangan aktivitas perdagangan yang dibuat oleh sebuah negara. Umumnya, embargo melarang kegiatan perdagangan dengan negara lain yang memiliki konflik kepentingan tertentu.

Harga minyak dunia terpantau melonjak pada Selasa (6/12), setelah kebijakan pembatasan harga dari G7 dan Uni Eropa terhadap impor minyak Rusia mulai berlaku awal pekan ini.

Data perdagangan Intercontinental Exchange (ICE) hingga pukul 09:26 WIB mencatat harga minyak kontrak Februari 2023 menguat 1,02% di USD83,53 per barel.

Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange (NYMEX) untuk pengiriman Januari meningkat 1,09% sebesar USD77,92 per barel.

Dalam sejarahnya, harga minyak memang cukup dipengaruhi oleh faktor-faktor geopolitik dan krisis.

Tak terkecuali kali ini, meningkatnya ketegangan antara Barat dan Rusia merupakan dampak dari adanya agresi militer negeri Beruang Merah ke Ukraina. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sumber: Macrotrends

Tak hanya perdagangan saja yang dibatasi, negara Barat juga akan membatasi penyediaan bantuan teknis, layanan perantara dan pembiayaan serta bantuan keuangan bagi aktivitas perdagangan minyak dari Rusia.

Krisis 1973 Terulang Kembali?

Dunia pernah mengalami krisis minyak terburuk yakin di era tahun 1970-an. Krisis ini pertama kali dimulai pada Oktober 1973 ketika anggota Organisasi Negara Arab Pengekspor Minyak (OAPEC) yang dipimpin oleh Arab Saudi mengumumkan embargo minyak.

Embargo ini ditargetkan pada negara-negara yang telah mendukung Israel selama Perang Yom Kippur.

Negara-negara awal yang menjadi sasaran adalah negara-negara Barat seperti Kanada, Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat, meskipun embargo juga kemudian meluas ke Portugal, Rhodesia, dan Afrika Selatan.

Embargo menyebabkan krisis minyak, atau "kejutan", dengan banyak efek jangka pendek dan jangka panjang pada politik global dan ekonomi global. Periode ini disebut sebagai periode kejutan minyak pertama, diikuti oleh krisis minyak 1979 yang disebut sebagai ‘kejutan minyak kedua’.

Di awal tahun 1973, banyak masyarakat di berbagai negara mengalami pemadaman listrik dan kenaikan harga bahan bakar dan kebutuhan lainnya dengan cepat.

Kontrol harga dan sistem alokasi energi tidak hanya gagal menyelesaikan masalah ini, tetapi juga memperburuknya.

Hal yang paling diingat dari krisis ini adalah embargo minyak oleh anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan memotong produksi serta pasokan minyak lebih jauh dan menaikkan harga minyak ke tingkat yang sebelumnya tidak diduga oleh pasar.

Efek embargo langsung terasa tidak hanya bagi negara tapi juga perusahaan-perusahaan. OPEC memaksa perusahaan minyak untuk meningkatkan pembayaran secara drastis. Gangguan pasokan energi juga memukul ekonomi Amerika Serikat (AS) sebagai raksasa ekonomi dunia kala itu.

Menurut ketua bank sentral AS (The Fed) kala itu, Arthur Burns, pada 1974 manipulasi harga minyak dan pembatasan pasokan oleh negara-negara pengekspor minyak terjadi pada waktu yang paling tidak tepat bagi ekonomi AS.

Dampaknya, pada pertengahan 1973, harga komoditas meningkat lebih dari 10% per tahun. Sementara pabrik industri beroperasi dengan kapasitas hampir penuh dan banyak bahan industri utama sangat sedikit pasokannya.

Pada tahun 1974, tujuh dari 15 perusahaan teratas AS yan terdaftar dalam Fortune 500 adalah perusahaan minyak, kemudian turun menjadi empat perusahaan saja pada tahun 2014.

Krisis mereda ketika embargo dicabut pada Maret 1974 setelah negosiasi di Washington Oil Summit. Tetapi efek dari embargo ini bertahan sepanjang tahun 1970-an. Harga energi meningkat lagi pada tahun berikutnya, di tengah melemahnya posisi dolar di pasar dunia.

Embargo minyak Arab ini mengakhiri periode panjang kemakmuran di Barat yang bertahan sejak 1945. Kondisi ini membuat ekonomi dunia ke dalam kontraksi tertajam sejak periode Great Depression.

Dalam hitungan hari, kondisi ini melemparkan ekonomi dunia ke dalam resesi yang tajam dengan pengangguran meningkat dan inflasi yang meroket.

Tinjauan sejarah menunjukkan harga minyak tidak pernah sama sejak krisis minyak tahun 1973.

Grafik di bawah ini membandingkan harga nominal minyak mentah per barel dan harga yang disesuaikan dengan inflasi. Selama embargo, harga minyak yang disesuaikan naik dari USD27,17 pada tahun 1973 menjadi USD60,81 pada tahun 1974. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sumber: The Balance

Pasca krisis minyak, periode ini disebut sebagai akhir Barat yang oleh orang Prancis disebut Trente Glorieuses.

Kondisi ini menimbulkan suasana pesimisme yang meluas di Barat di mana Financial Times kala itu memuat tajuk utama yang terkenal berjudul ‘The Future will be subject to Delay’ pada akhir tahun 1973.

Dalam konteks makroekonomi, bank-bank sentral Barat memutuskan untuk memangkas suku bunga secara tajam untuk mendorong pertumbuhan, memutuskan bahwa inflasi adalah perhatian kedua.

Meskipun ini adalah resep ekonomi makro ortodoks pada saat itu, stagflasi yang diakibatkannya mengejutkan para ekonom dan bank sentral.

Kebijakan tersebut kini dianggap oleh beberapa pihak memperdalam dan memperpanjang dampak buruk embargo. Penelitian terbaru mengklaim bahwa pada periode setelah 1985 ekonomi menjadi lebih tahan terhadap kenaikan harga energi.

Guncangan harga juga menciptakan defisit neraca berjalan yang besar di negara-negara pengimpor minyak. Mekanisme daur ulang petrodolar dibuat, di mana dana surplus OPEC disalurkan melalui pasar modal ke Barat untuk membiayai defisit neraca berjalan.

Berfungsinya mekanisme ini membutuhkan pelonggaran kontrol modal di negara-negara pengimpor minyak. Ini menandai awal pertumbuhan eksponensial pasar modal Barat.

Adapun dampaknya bagi negara pengekspor minyak, kenaikan harga ini berdampak dramatis karena mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Terutama negara-negara di Timur Tengah akhirnya menguasai komoditas vital.

Melihat keputusan negara G7 dalam mengembargo minyak Rusia sepertinya sejarah akan kembali terulang. Walaupun skala dampaknya belum secara drastis dirasakan,

Kondisi yang membedakan hari ini adalah sikap OPEC yang terkesan mendukung posisi Rusia.

Mengutip Investing.com, OPEC+ membuat marah AS dan negara-negara Barat lainnya pada Oktober ketika berencana memangkas produksi minyak 2 juta BOPD.

OPEC+ beralasan telah memangkas produksi karena prospek ekonomi global yang menunjukkan pelemaham. Harga minyak disebut telah menurun sejak Oktober karena lockdown Covid China, pertumbuhan ekonomi global yang lebih lambat, dan suku bunga yang lebih tinggi.

Namun, bisa saja dampak jangka panjang dari pertentangan kebijakan ini akan terasa terhadap perekonomian global. Termasuk membuat ramalan resesi di tahun depan semakin kian di depan mata. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement