IDXChannel - Gejolak geopolitik selalu berakhir buruk dalam sejarah perdagangan minyak. Ketegangan kian terasa setelah negara yang tergabung dalam G7 menjatuhkan sanksi embargo minyak Rusia.
Negara-negara tersebut menetapkan harga tidak lebih dari USD60 per barel untuk produk minyak Rusia.
Embargo adalah pelarangan aktivitas perdagangan yang dibuat oleh sebuah negara. Umumnya, embargo melarang kegiatan perdagangan dengan negara lain yang memiliki konflik kepentingan tertentu.
Harga minyak dunia terpantau melonjak pada Selasa (6/12), setelah kebijakan pembatasan harga dari G7 dan Uni Eropa terhadap impor minyak Rusia mulai berlaku awal pekan ini.
Data perdagangan Intercontinental Exchange (ICE) hingga pukul 09:26 WIB mencatat harga minyak kontrak Februari 2023 menguat 1,02% di USD83,53 per barel.
Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange (NYMEX) untuk pengiriman Januari meningkat 1,09% sebesar USD77,92 per barel.
Dalam sejarahnya, harga minyak memang cukup dipengaruhi oleh faktor-faktor geopolitik dan krisis.
Tak terkecuali kali ini, meningkatnya ketegangan antara Barat dan Rusia merupakan dampak dari adanya agresi militer negeri Beruang Merah ke Ukraina. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sumber: Macrotrends
Tak hanya perdagangan saja yang dibatasi, negara Barat juga akan membatasi penyediaan bantuan teknis, layanan perantara dan pembiayaan serta bantuan keuangan bagi aktivitas perdagangan minyak dari Rusia.
Krisis 1973 Terulang Kembali?
Dunia pernah mengalami krisis minyak terburuk yakin di era tahun 1970-an. Krisis ini pertama kali dimulai pada Oktober 1973 ketika anggota Organisasi Negara Arab Pengekspor Minyak (OAPEC) yang dipimpin oleh Arab Saudi mengumumkan embargo minyak.
Embargo ini ditargetkan pada negara-negara yang telah mendukung Israel selama Perang Yom Kippur.
Negara-negara awal yang menjadi sasaran adalah negara-negara Barat seperti Kanada, Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat, meskipun embargo juga kemudian meluas ke Portugal, Rhodesia, dan Afrika Selatan.
Embargo menyebabkan krisis minyak, atau "kejutan", dengan banyak efek jangka pendek dan jangka panjang pada politik global dan ekonomi global. Periode ini disebut sebagai periode kejutan minyak pertama, diikuti oleh krisis minyak 1979 yang disebut sebagai ‘kejutan minyak kedua’.
Di awal tahun 1973, banyak masyarakat di berbagai negara mengalami pemadaman listrik dan kenaikan harga bahan bakar dan kebutuhan lainnya dengan cepat.
Kontrol harga dan sistem alokasi energi tidak hanya gagal menyelesaikan masalah ini, tetapi juga memperburuknya.
Hal yang paling diingat dari krisis ini adalah embargo minyak oleh anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan memotong produksi serta pasokan minyak lebih jauh dan menaikkan harga minyak ke tingkat yang sebelumnya tidak diduga oleh pasar.
Efek embargo langsung terasa tidak hanya bagi negara tapi juga perusahaan-perusahaan. OPEC memaksa perusahaan minyak untuk meningkatkan pembayaran secara drastis. Gangguan pasokan energi juga memukul ekonomi Amerika Serikat (AS) sebagai raksasa ekonomi dunia kala itu.
Menurut ketua bank sentral AS (The Fed) kala itu, Arthur Burns, pada 1974 manipulasi harga minyak dan pembatasan pasokan oleh negara-negara pengekspor minyak terjadi pada waktu yang paling tidak tepat bagi ekonomi AS.
Dampaknya, pada pertengahan 1973, harga komoditas meningkat lebih dari 10% per tahun. Sementara pabrik industri beroperasi dengan kapasitas hampir penuh dan banyak bahan industri utama sangat sedikit pasokannya.
Pada tahun 1974, tujuh dari 15 perusahaan teratas AS yan terdaftar dalam Fortune 500 adalah perusahaan minyak, kemudian turun menjadi empat perusahaan saja pada tahun 2014.