IDXChannel - Perang Rusia-Ukraina telah berlangsung selama setahun sejak diumumkan pada 24 Februari tahun lalu. Perang ini disebut menjadi pemicu meroketnya inflasi hingga kenaikan suku bunga dan menyebabkan mandegnya perekonomian di negara-negara ekonomi utama dunia.
Survei Kepala Keuangan Deloitte Eropa mengungkapkan, invasi Rusia ke Ukraina telah memberikan kejutan tajam pada sentimen bisnis yang sebelumnya telah pulih karena pencabutan lockdown akibat pandemi Covid-19.
Invasi Rusia ke Ukraina ini juga terus menyebabkan gangguan rantai pasokan global. Akibatnya, harga komoditas penting seperti bahan bakar dan makanan meningkat secara global.
Faktor utama yang tak kalah penting adalah perang telah menyebabkan kelangkaan yang meningkatkan dan kerawanan pangan karena melonjaknya harga pangan. Ini karena Rusia dan Ukraina menyumbang hampir sepertiga dari ekspor gandum global.
Kenaikan harga dan terganggunya rantai pasok ini yang menyebabkan inflasi tak terkendali di banyak negara ekonomi utama dunia.
Menurut laporan Visual Capitalists, sebanyak 33 bank sentral dari total 38 yang dilacak oleh Bank of International Settlements telah menaikkan suku bunga sepanjang tahun lalu.
Kenaikan suku bunga yang terkoordinasi ini adalah yang terbesar dalam dua dekade, mewakili berakhirnya era suku bunga terendah.
Inflasi Tinggi, Suku Bunga Meroket
Banyak negara mengalami tingkat inflasi yang mencapai rekor tertinggi.
Kondisi ini berpengaruh signifikan terhadap negara-negara miskin yang sudah bergulat dengan masalah lain seperti perubahan iklim.
Beberapa bahkan menghadapi tingkat inflasi tiga digit. Secara global, Zimbabwe, Lebanon, dan Venezuela memiliki tingkat inflasi tertinggi di dunia. Tercatat, inflasi di Zimbabwe tembus 269% per Oktober 2022.
Adapun Lebanon harus menangunggu tingginya inflasi sebesar 162% pada September 2022. Negara di Amerika Latin, Venezuela, harus menanggung 156% pada Oktober 2022.
Di negara ekonomi utama dunia, Eropa harus mengalami inflasi tertinggi sepanjang satu dekade terakhir mencapai 10,6% pada Oktober tahun lalu. Amerika Serikat mencapai puncak inflasi pada Juni sebesar 9,10%,
China juga terbelenggu inflasi tinggi yang mencapai puncaknya pada September sebesar 2,80%. Jepang masih mengalami inflasi tertinggi mencapai 4% di akhir tahun lalu dan masih berlanjut mengalami kenaikan di awal tahun 2023 mencapai 4,30%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Untuk meredam inflasi ini, mau tidak mau bank sentral perlu melakukan intervensi kebijakan moneter, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan. Ini dilakukan agar harga semakin tinggi dan membatasi aktivitas konsumsi. Akhirnya, pengeluaran konsumen dapat ditekan dan inflasi perlahan mendingin.
2022 menjadi tahun di mana banyak bank sentral utama menaikkan suku bunga secara signifikan. Misalnya The Federal Reserve, bank sentral AS telah menaikkan suku bunga sebanyak 450 basis poin (Bps) sepanjang 2022 hingga di awal 2023.
Begitu juga di Eropa dan Inggris di mana Bank Sentral Eropa menaikkan suku bunga sebanyak 175 bps ke level 2,5% hingga akhir 2022. Sementara Bank of England menaikkan menjadi 3,5% hingga akhir 2022. (Lihat grafik di bawah ini.)
Menanggapi kondisi ini, laporan Prospek Ekonomi Global Bank Dunia menampilkan simulasi model untuk menilai dua skenario penurunan ekonomi global tahun ini.
Dalam skenario pertama, jika bank sentral memperketat kebijakan moneter lebih dari yang diharapkan sebagai tanggapan atas ekspektasi inflasi yang meningkat, hal ini akan mengakibatkan pertumbuhan PDB global turun menjadi 1,3% di tahun ini.
Skenario kedua, tingkat kebijakan bank sentral utama bahkan akan lebih ketat, dan secara nyata kondisi keuangan yang lebih ketat menyebabkan kesulitan pembiayaan yang signifikan dan membuat dunia berisiko jatuh dalam resesi.
Sayangnya, sinyal kenaikan suku bunga ini masih cukup kuat dilontarkan banyak bank sentral utama.
The Fed misalnya, baru-baru ini menyampaikan risalah hasil rapat terakhir pada Kamis dini hari waktu Indonesia (23/2/2023).
The Fed menilai, meskipun ada tanda-tanda inflasi turun, tetapi tidak cukup untuk melawan kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Hal ini menunjukkan bahwa scarring effect perang Rusia-Ukraina ini akan meninggalkan luka mendalam bagi perekonomian global secara luas. (ADF)