Sejak Perang Dunia II, tidak pernah ada kasus di mana The Fed mencapai soft landing ketika inflasi berada di atas 5% (saat ini di atas 8%) dan pengangguran di bawah 5% (saat ini 3,7%).
Hard landing lebih mungkin terjadi karena di Eropa adanya semacam kejutan di sektor energi Rusia, perlambatan China, dan inflasi Eropa di mana kenaikan suku bunga bank sentral Eropa lebih menukik dibandingkan kurva miliki The Fed.
Sebagian besar indikator aktivitas ekonomi di negara maju menunjukkan perlambatan tajam yang akan tumbuh lebih buruk lagi dengan pengetatan kebijakan moneter.
Hard landing pada akhir tahun harus dianggap sebagai skenario dasar (base scenario).
Lockdown akibat Covid-19 juga menyebabkan terhambatnya pasokan, termasuk untuk tenaga kerja. Tak hanya itu, kebijakan Zero-Covid-19 di China menyebabkan lebih banyak masalah bagi rantai pasokan global.
Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan gelombang kejut bagi sektor energi dan pasar komoditas lainnya. Menguatnya dolar AS terhadap mata uang lainnya, adanya pembatasan perdagangan dan imigrasi, juga mempercepat tren menuju deglobalisasi.
Deglobalisasi adalah proses berkurangnya saling ketergantungan dan integrasi antara unit-unit politik di seluruh dunia, biasanya negara bangsa. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan penurunan perdagangan ekonomi dan investasi antarnegara.
Beberapa ahli menilai perang di Ukraina dikombinasikan dengan dampak pandemi adalah titik balik menuju deglobalisasi.
Mengutip DW, dampak utama pandemi bagi ekonomi adalah gangguan rantai pasokan, yang sempat menghentikan produksi di berbagai sektor industri.
Menurut Megan Greene, ekonom senior di Harvard Kennedy School, gangguan tersebut telah mendorong perubahan mendasar dalam desain rantai pasokan indiustri.
"Pandemi telah menggeser tren dari manufaktur 'just-in-time' ke penyimpanan persediaan seperti dulu,” kata Megan Greene.
Selain gangguan yang disebutkan di atas, guncangan ini dapat mencakup adanya fakta penuaan penduduk di banyak ekonomi utama, wabah baru seperti monkeypox (cacar monyet), perubahan iklim, perang siber, dan kebijakan fiskal untuk meningkatkan upah pekerja.
Waspada Pasar Keuangan
Tekanan terbaru di pasar keuangan – termasuk pasar obligasi dan kredit – telah memperkuat pandangan Roubini bahwa upaya bank sentral untuk menurunkan inflasi akan menyebabkan kehancuran ekonomi dan sektor keuangan.
Menurut Roubini, jika resesi datang, racikan portofolio yang berisikan ekuitas berisiko (seperti saham) dan obligasi pendapatan tetap yang kurang berisiko akan kehilangan keuntungan karena inflasi dan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi.
Roubini juga berpendapat bahwa bank sentral akan mendapatkan tekanan besar untuk melakukan pelonggaran begitu skenario hard landing dan kehancuran finansial terwujud.
Tanda-tanda awal pelemahan sudah terlihat di Britania Raya. Dihadapkan dengan reaksi pasar terhadap stimulus fiskal pemerintah yang baru, BOE telah meluncurkan program pelonggaran quantitative-easing (QE) untuk membeli obligasi pemerintah.
Tidak seperti pada umumnya, korelasi negatif antara harga obligasi dan saham akan rontok saat inflasi naik. Antara Januari dan Juni tahun ini, indeks ekuitas AS dan global turun lebih dari 20%, sedangkan imbal hasil obligasi jangka panjang naik dari 1,5% menjadi 3,5%, yang menyebabkan kerugian besar pada saham dan obligasi.
Selain itu, imbal hasil obligasi turun antara Juli dan pertengahan Agustus sehingga mempertahankan korelasi harga yang positif. Sejak pertengahan Agustus, saham terus turun tajam sementara imbal hasil obligasi naik jauh lebih tinggi.
Menurut Roubini, indeks saham akan turun sekitar 30% dalam resesi ringan dan 40% atau lebih dalam terjadinya krisis stagflasi utang.
Tanda-tanda ketegangan di pasar utang meningkat ditandai peningkatan sovereign spreads dan suku bunga obligasi jangka panjang, high-yield spread meningkat tajam, leveraged-loan dan pasar collateralized-loan-obligation kolaps, banyaknya perusahaan dengan utang tinggi, adanya bank bayangan, hingga rumah tangga, pemerintah, dan negara memasuki era peningkatan dan kesulitan hutang.
“Sementara banyak analis berpikir bahwa resesi yang akan datang akan singkat dan dangkal, sedangkan saya telah memperingatkan terhadap optimisme relatif seperti itu, menekankan risiko krisis utang stagflasi yang parah dan berlarut-larut,” ujar Roubini. (ADF)