“Ada dampak berantainya ketika tidak ada tourism datang. Tempat wisata sepi, jasa yang ditawarkan untuk makan dan minum surut. Orang jual makanan lebih sedikit. Jadi panjang. Supply makan yang sifatnya elementer jadi nggak tercapai. Apakah sudah ada studi ini? Kalau sudah ada jelaskanlah ke publik,” sambung Junus.
Menurut Junus dengan rencana kenaikan harga masuk Borobudur untuk wisatawan lokal ini akan terbentuk stratifikasi sosial, dimana hanya orang kaya yang bisa menikmati Candi Borobudur.
“Dimana sih tempatnya masyarakat jelata Indonesia ketika mereka ingin menikmati karya nenek moyang? Tapi mereka hanya bisa lihat dari luar pagar. Mereka yang punya uang bisa sampai atas, berfoto ria terus turun. Ada perasaan tidak adil. Kenapa masyarakat diperlakukan tidak adil? Bukankah warisan budaya ini adalah milik bangsa?,” tuturnya.
Junus mengatakan bila persoalan perilaku masyarakat ini menjadi salah satu isu jumlahnya wisatawan yang datang ke Borobudur harus dikurangi, sebaiknya PT Taman Wisata Candi Borobudur memberi edukasi kepada wisatawan ketika akan naik ke atas candi.
“Ada keluhan memang terkait kelakuan tourism, misalnya musim wisata kaya rombongan SMP atau SMP naik ke atas buang sampah sembarangan. Memang ada yang kaya gitu. Tapi kan itu semua anak bangsa. Bagaimana kita mengenalkan anak bangsa tentang karya nenek moyangnya? Harus diatur dan harus ada regulasi untuk memberi kesempatan kepada semua orang yang datang kesitu. Terutama justru adalah warga negara,” paparnya.