Berbeda dengan kebutuhan BBM yang mengalami peningkatan, lifting migas nasional justru terus mengalami penurunan karena memang usia sumur yang sudah tua. "Sementara permintaan BBM-nya semakin tinggi. Maka impor kita makin banyak, subsidi makin besar," jelas Arifin.
Lebih hemat dan tekan emisi, program konversi kendaraan listrik yang dilakukan Kementerian ESDM memiliki beberapa keuntungan, baik dari sisi biaya bahan bakar dan pergantian oli maupun emisi karbondioksida (CO2).
"Hasil percobaan konversi motor listrik di atas 10 tahun yang sudah kita lakukan itu jika menggunakan bahan bakar BBM untuk 30 KM akan menghabiskan BBM 1 liter. Misalnya, Pertalite dengan harga Rp10.000, tetapi jika diganti dengan motor listrik hanya memerlukan daya listrik 1 Kilo Watt yang harganya Rp1.600. Jangan lupa juga motor BBM setiap tahun harus ganti oli itu kurang lebih Rp2-2.5 juta pertahun, dengan motor listrik hal itu tidak ada lagi," ungkap Arifin.
Selain penghematan, keuntungan lain adalah penurunan emisi CO2 yang tentunya sejalan dengan target net zero emission (NZE) pada tahun 2060. "Jika 140 juta unit seluruh kendaraannya diganti dengan listrik, maka kita dapat mengurangi emisi 100 juta ton CO2 tiap tahun. Target kita 2060 emisi kita bisa nol, kita bisa pakai semua potensi energi baru yang ada di seluruh Indonesia," ujar Arifin.
Arifin menyakini program motor listrik ini akan menimbulkan efek berganda di sektor lainnya, seperti manufaktur hingga pertumbuhan bengkel-bengkel motor listrik. "Saya yakin, kalau kegiatan ini bisa jalan, kegiatan ekonomi juga akan meningkat, mulai dari bengkel, manufacturing pabrik-pabrik yang membuat komponen motor listrik akan bergerak semua dan ini produksi Indonesia," pungkas Arifin.