IDXChannel - Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) khususnya untuk sektor kelistrikan di Indonesia belum terlalu masif. Setidaknya ada tiga penyebab proyek EBT gagal.
Founding Director of The University of Oxford's program on Sustainable Capital-Intensive Industries, Atif Ansar menilai, ada tiga faktor yang berpotensi memicu kegagalan mega proyek EBT tersebut.
"Faktor pertama adalah pelaku proyek terlampau optimistis dan tidak melihat adanya kerikil yang menghambat keberlangsungan proyek tersebut," ujar Atif, Kamis (29/7/2021).
Faktor kedua, dalam membuat rancangan induk mega proyek, inisiator akan mengerek nilainya supaya dapat lebih mudah mendapatkan fasilitas keuangan. Dalam hal ini, tidak sedikit inisiator mega proyek terlalu besar menggelembungkan nilainya tanpa melihat faktor risiko yang menyertainya.
"Faktor terakhir adalah kompleksitas. Tidak sedikit inisiator proyek membuat perbandingan secara linear, padahal dalam prakteknya dalam membangun sebuah mega proyek banyak faktor yang harus dihitung secara paralel," ungkapnya.
Seperti diketahui, PT PLN (Persero) akan membangun sejumlah mega proyek pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT). Proyek tersebut untuk mendukung pencapaian nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060.
Saat ini, PLN tengah mendorong transisi energi dan dekarbonisasi dengan strategi bertahap guna mencapai target nol emisi karbon pada 2060. Dimana, PLN memulai memensiunkan generasi pertama PLTU (subcritical) pada 2030.
Sehingga pada 2060 seluruh PLTU digantikan pembangkit berbasis EBT.
Wakil Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, pun sependapat dengan Atif. Dia menilai, untuk pembangunan pembangkit EBT ke depan, PLN akan melakukannya dengan cermat.
"Apabila di suatu daerah, suplai listriknya sudah melebihi kapasitas, maka pembangkit EBT sebaiknya tidak dibangun," katanya.
Alasannya, keselarasan pasokan dan kebutuhan. Kemudian, aspek lingkungan hingga keterjangkauan karena perusahaan ingin semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkannya. (RAMA)