Apalagi, lanjut Teddy, seluruh utang pada tahun buku 2022 merupakan pinjaman bersih tanpa agunan, dengan rata-rata maturitas 5,5 tahun.
Teddy memaparkan, dampak dari aksi akuisisi, telah berhasil menambah penguasaan aset menara Mitratel menjadi 35.418 unit, yang mana hal ini juga berdampak terhadap peningkatan porsi dari penyewaan menara dari 79% atau Rp5,4 triliun menjadi 82% atau setara Rp6,37 triliun dengan EBITDA margin 85%.
Menurut Teddy, selama tahun lalu, Mitratel telah menempuh strategi pertumbuhan organik dan inorganik. Pertumbuhan organik dilakukan dengan menambah 6 ribu aset menara 2 ribu diantaranya menghasilkan pendapatan kolokasi membangun produk baru berupa jaringan fiber to tower sepanjang 10 ribu Km, senilai Rp2,9 triliun.
Sementara itu, pertumbuhan inorganik dilakukan dengan mengakuisisi lebih dari 6 ribu aset menara dan fiber optik dengan total investasi Rp9,3 triliun. Adapun pendanaan tersebut bersumber dari penggalangan dana IPO oleh Mitratel di tahun 2021.
Sementara itu, Teddy yang belum lama ini terpilih menjadi Ketua Asosiasi Pengembangan Infrastruktur Menara Telekomunikasi (ASPIMTEL) mengatakan, secara industri, bisnis menara di Indonesia masih memiliki ruang pertumbuhan yang tinggi.