IDXChannel - Rencana pemerintahan Prabowo Subianto untuk menarik pembiayaan utang baru sebesar Rp781,87 triliun pada 2026 menuai sorotan publik. Angka besar ini dibarengi dengan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang berulang kali menegaskan bahwa posisi utang Indonesia saat ini masih aman.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai pengelolaan utang dapat selaras asalkan pemerintah mampu menjaga disiplin fiskal dan meningkatkan kualitas eksekusi belanja.
"Selama defisit terjaga di kisaran yang wajar dan rasio utang mendekati 40 persen PDB, jauh di bawah batas hukum 60 persen, pemerintah tetap memiliki ruang gerak," ujar Syafruddin kepada IDXChannel, Senin (13/10/2025).
Artinya, utang baru yang ditarik menjadi aman asalkan dana tersebut dialokasikan secara efektif dan risikonya terkelola dengan baik. Karimi menyebut, persepsi pasar terhadap utang Rp781,87 triliun tersebut akan bergantung pada tiga hal yaitu kredibilitas defisit (<3 persen PDB), arah biaya bunga (manajemen lelang SBN), dan mutu belanja (kandungan lokal dan efek ganda).
Syafruddin menekankan bahwa utang harus menjadi "pengungkit" pertumbuhan, bukan sekadar "menambal" defisit, yang hanya bisa dikonfirmasi melalui output dan serapan tenaga kerja di lapangan.
Senada dengan itu, Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede menegaskan bahwa posisi utang Indonesia setelah setahun pemerintahan Prabowo masih dalam koridor aman karena tiga hal terjaga yakni defisit, struktur portofolio utang, dan kondisi pasar pembiayaan.
Josua menggarisbawahi bahwa dalam APBN 2026, defisit ditetapkan sebesar 2,68 persen PDB, dengan kebutuhan pembiayaan resmi Rp689,1 triliun.
"Posisi utang pemerintah, bukan karena angkanya kecil, melainkan karena tiga hal pokok terjaga yaitu defisit tetap di bawah 3 persen PDB, struktur portofolio utang makin hati-hati, dan kondisi pasar pembiayaan relatif kondusif," ujar Josua.
Josua memaparkan, kerangka manajemen utang Indonesia telah menerapkan pagar pengaman yang konservatif hingga 2029, termasuk Porsi valuta asing maksimal 30 persen, jatuh tempo rata-rata minimal 7 tahun dan Rasio utang terhadap PDB sekitar 40 persen.
Secara aktual, data Agustus 2025 menunjukkan rata-rata jatuh tempo utang sudah mencapai sekitar 8 tahun dan porsi valas sekitar 28 persen, yang berhasil meredam risiko kurs dan risiko pembiayaan jangka pendek.
Kedua ekonom sepakat bahwa tantangan ke depan terletak pada sisi penerimaan dan kualitas belanja pemerintah.
Josua mencermati target rasio penerimaan 2026 yang sebesar 12,24 persen PDB menuntut akselerasi reformasi administrasi pajak agar program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), kesehatan, dan energi yang tidak menekan ruang fiskal.
Sementara itu, Syafruddin menyarankan agar pemerintah mengubah volume belanja dengan kualitas hasil. Strategi ini, menurutnya, akan efektif bila uang utang cepat berubah menjadi kontrak, produksi, dan upah, bukan hanya menjadi sisa saldo di akhir tahun.
Kesimpulannya, tambahan utang pada 2026 bersifat terukur dan kredibel untuk mendorong pertumbuhan selama pemerintah konsisten menjaga defisit di bawah 3 persen, menjaga pagar risiko portofolio, serta memperbaiki rasio penerimaan sambil mengarahkan pembiayaan kepada belanja bernilai tambah.
(NIA DEVIYANA)