Menurut Tulus, secara politis, kebijakan ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk ambigu. Di satu sisi pemerintah tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, tetapi praktiknya terjadi kenaikan harga, malah jauh lebih tinggi.
"Adapun dari sisi ekonomi kebijakan ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi. Sebab yang banyak menikmati subsidi, adalah pengguna kendaraan motor pribadi," tuturnya.
"Sementara masyarakat yang benar-benar miskin, berdasar data Kemensos, tidak bisa menikmati subsidi BBM, karena tidak mempunyai kendaraan motor pribadi," tambahnya.
Tak hanya itu, Ketua YLKI ini juga menyoroti dari sisi teknis. Menurutnya, kebijakan ini jika benar-benar diterapkan sangat menyulitkan dalam pengawasan, dan menyulitkan petugas SPBU. Bahkan bisa menimbulkan chaos pelayanan di SPBU, apalagi SPBU di kota-kota besar, atau di jalan utama, seperti jalan nasional, bahkan jalan provinsi.
"Di seluruh dunia harga bbm adalah tunggal, tidak ada dual price, apalagi triple price. Jika ini diterapkan pasti buntutnya runyam!," tegasnya.