"Jadi harus diminta pengertian bagi pengusaha bahwa situasi sekarang tidak semua konsumen siap untuk menerima naiknya harga, karena bisa mempengaruhi daya beli. Beberapa pengusaha sudah memahami itu, sehingga mereka memotong margin keuntungan dibandingkan menaikkan harga jual atau retail," jelas Bhima.
Mitigasi lainnya adalah melalui kebijakan moneter, menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah juga penting karena konflik ini bisa berdampak ke nilai tukar sehingga perlu dijaga supaya tetap stabil dengan berbagai intervensi moneter dari Bank Indonesia (BI). Dia mengatakan ada beberapa peluang, yang pertama adalah relokasi investasi dari Eropa Timur, khususnya negara-negara berkembang di sana, bahkan Rusia, karena mereka sekarang mencari negara lain sebagai basis produksi.
"Tentunya Indonesia bisa mengajukan diri kalau dirasa memang Indonesia memiliki daya saing dan kesiapan kawasan industri dalam negeri. Yang kedua, potensinya adalah menjadikan substitusi produk-produk dari Rusia dan Ukraina, yang besar kan, Rusia salah satunya adalah plastik, pupuk, dan produk turunan kayu," ungkap Bhima.
Indonesia, sebut dia, memiliki produk-produk ini, jadi harusnya didorong juga substitusi produk-produk dari Rusia baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia maupun untuk menggantikan posisi Rusia di negara-negara yang potensial sebagai tujuan ekspor.
"Jadi, kalau Rusia terganggu rantai pasoknya untuk mengekspor kayu, plastik, dan pupuk, Indonesia bisa mengambil peran itu. Ini adalah momentum sekali seumur hidup yang harus dimanfaatkan bagi perekonomian Indonesia," pungkas Bhima.