sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Cegah Resistensi Antimikroba, KKP Dorong Pengendalian Penggunaan Antibiotik pada Budi Daya Udang

Foto editor Yudistiro Pranoto
10/11/2025 11:01 WIB
Antibiotik memiliki fungsi utama untuk menekan atau membunuh bakteri patogen yang menginfeksi udang
BUBK Kebumen (Dok KKP)
BUBK Kebumen (Dok KKP)
BUBK Kebumen (Dok KKP) BUBK Kebumen (Dok KKP) BUBK Kebumen (Dok KKP) BUBK Kebumen (Dok KKP)

IDXChannel - Budidaya udang, terutama udang vanamei (Litopenaeus vannamei), merupakan sektor andalan perikanan Indonesia dengan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Berdasarkan data pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada tahun 2024, nilai ekspor udang Indonesia mencapai USD 1,68 miliar dengan volume 214,58 ribu ton. Capaian tersebut menempatkan Indonesia di peringkat ke-5 eksportir udang terbesar dunia dengan pangsa pasar 6,0%, di bawah Ekuador (25,0%), India (17,8%), Vietnam (10,8%), dan Tiongkok (7,5%). Pasar utama ekspor udang Indonesia adalah Amerika Serikat dengan kontribusi 63,7% dari total udang Indonesia, diikuti oleh Jepang.

Dibalik nilai ekspor yang gemerlap, tersimpan tantangan yaitu praktik penggunaan antibiotik yang tidak sesuai ketentuan. Hal ini berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap risiko resistensi antimikroba, sebuah fenomena ketika bakteri menjadi kebal terhadap obat-obatan yang seharusnya mampu membunuhnya. Hal ini juga akan berdampak pada lingkungan serta berpengaruh terhadap keamanan pangan.

Antibiotik memiliki fungsi utama untuk menekan atau membunuh bakteri patogen yang menginfeksi udang, terutama pada fase pembesaran. Beberapa jenis antibiotik seperti oksitetrasiklin, enrofloksasin, dan eritromisin pernah digunakan di tambak untuk mengatasi serangan bakteri Vibrio. Dalam kondisi tertentu, penggunaan antibiotik dapat membantu memulihkan kondisi kesehatan udang dan menekan angka kematian, sehingga produktivitas tambak dapat terjaga.

Ditemukan Residu Antibiotik pada Lingkungan Tambak

Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan adanya residu antibiotik seperti tetrasiklin, kloramfenikol, dan nitrofuran pada sampel udang dan media lingkungan tambak. Keberadaan residu tersebut menunjukkan bahwa sebagian antibiotik yang diberikan dalam proses budidaya tidak sepenuhnya terurai dan dapat mencemari lingkungan, terutama pada sedimen dan perairan sekitar tambak.

Resistensi Antimikroba

Penelitian dari sejumlah lembaga riset perikanan menunjukkan bahwa beberapa isolat bakteri Vibrio dan Salmonella dari tambak udang di Indonesia telah menunjukkan resistensi terhadap antibiotik β-laktam dan tetrasiklin. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat mempersulit pengendalian penyakit, menurunkan produktivitas tambak, serta berpotensi menyebar ke manusia melalui rantai makanan atau kontak lingkungan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan resistensi antimikroba sebagai salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan global terbesar. Dalam konteks nasional, isu ini juga menjadi perhatian lintas sektor dalam kerangka Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN-PRA) 2020–2024 dengan pendekatan One Health.

Dampak terhadap Kesehatan Hewan, Manusia dan Lingkungan

Bagi manusia, resistensi antimikroba berarti bahwa obat-obatan esensial kehilangan kekuatan magisnya. Bakteri yang resisten, sering disebut superbug, menyebabkan infeksi yang tidak dapat lagi diobati oleh antibiotik lini pertama atau bahkan lini terakhir. Hal ini menyebabkan Peningkatan Morbiditas dan Mortalitas: karena menyebabkan masa sakit yang lebih lama, komplikasi yang parah, dan peningkatan risiko kematian. Serta adanya peningkatan Beban Ekonomi.

Sektor peternakan dan budi daya merupakan pengguna antibiotik yang signifikan. Dampak AMR di sini mengancam kesejahteraan hewan dalam hal terjadinya kegagalan pengobatan ketika patogen hewan mengembangkan resistensi, penyakit pada ternak (sapi, babi, unggas) dan komoditas perikanan menjadi sulit atau mustahil diobati serta dapat menyebabkan tantangan pada keamanan pangan dimana bakteri resisten dapat berpindah dari hewan ternak ke manusia, terutama melalui penanganan daging yang tidak tepat atau konsumsi produk hewani yang terkontaminasi.

Dampak pada Lingkungan: khususnya air dan tanah, berperan sebagai reservoir dan "laboratorium evolusi" bagi resistensi antimikroba. Lingkungan menghubungkan kesehatan manusia dan hewan.

• Penyebaran Gen Resistensi (ARG): Residu antibiotik dari limbah rumah sakit, fasilitas pengolahan air, dan kotoran ternak mencemari sungai, tanah, dan lautan. Residu ini menciptakan tekanan selektif yang memaksa bakteri untuk mengembangkan mekanisme pertahanan. Di lingkungan yang tercemar, bakteri dapat dengan mudah bertukar Gen Resisten Antibiotik (ARG), mengubah bakteri non-patogen menjadi pembawa gen berbahaya.

• Kontaminasi Air: Perairan yang terkontaminasi menjadi jalur penularan langsung, mengekspos manusia dan satwa liar terhadap bakteri resisten saat mereka berinteraksi dengan air tersebut, seperti saat mandi, berenang, atau minum.

Pendekatan One Health (Satu Kesehatan) adalah kerangka kerja paling efektif untuk meminimalkan Resistensi Antimikroba karena AMR adalah masalah yang melibatkan tiga sektor yang saling terhubung: manusia, hewan, dan lingkungan.

One Health meminimalkan Resistensi Antimikroba dengan memastikan kolaborasi lintas disiplin untuk mengurangi penggunaan antimikroba secara keseluruhan dan mencegah penyebaran bakteri resisten di ketiga sektor tersebut.

Penerapan prinsip One Health (Satu Kesehatan) dalam budidaya secara holistik meningkatkan efektivitas dan efisiensi produksi dengan menghubungkan kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. Prinsip ini menggeser fokus dari pengobatan setelah penyakit muncul menjadi pencegahan dini melalui biosekuriti ketat dan manajemen lingkungan yang optimal, yang secara langsung mengurangi angka kematian, menstabilkan kualitas air, dan meningkatkan hasil panen (yield). Peningkatan efisiensi dicapai melalui pengurangan ketergantungan pada antibiotik—menghemat biaya operasional, meminimalkan kerugian pakan, dan mengurangi risiko residu—sehingga produk budidaya menjadi lebih aman, memiliki nilai jual yang lebih tinggi, dan memastikan keberlanjutan usaha di pasar global.

Memperkuat Pertahanan di Hulu: Peran Sertifikasi Budidaya KKP

Untuk memastikan keberlanjutan dan keamanan produk, KKP memperkuat pengawasan di seluruh mata rantai produksi melalui sistem sertifikasi di hulu budidaya. KKP secara aktif mendorong dan mewajibkan penerapan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) atau Good Aquaculture Practices. Sertifikasi CBIB ini memastikan bahwa seluruh tahapan budidaya udang, mulai dari manajemen kualitas air hingga penggunaan pakan dan obat-obatan, dilakukan sesuai standar yang ketat dan bertanggung jawab. Sertifikasi CBIB secara langsung berkontribusi pada peningkatan biosekuriti tambak karena unit budidaya yang tersertifikasi wajib memiliki prosedur untuk mencegah masuknya penyakit. Dengan demikian, kebutuhan untuk menggunakan antibiotik sebagai respons terhadap wabah dapat diminimalkan. Sertifikasi ini adalah bukti nyata komitmen Indonesia untuk menghasilkan produk udang yang aman, bebas residu antibiotik, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan, menjadi kunci bagi produk perikanan Indonesia untuk menembus pasar ekspor yang semakin ketat dan meningkatkan daya saing global.

KKP Dorong Budidaya Berkelanjutan

Sebagai langkah mitigasi, KKP terus mendorong penerapan budidaya udang berkelanjutan dan ramah lingkunganmelalui beberapa strategi, antara lain:

• Penguatan penerapan Good Aquaculture Practices (CBIB);

• Penggunaan probiotik dan imunostimulan sebagai alternatif pengganti antibiotik;

• Peningkatan biosekuriti tambak untuk mencegah masuknya penyakit;

• Penguatan pengujian residu antibiotik dan gen resistensi mikroba (ARG);

• Edukasi dan pendampingan teknis kepada pembudidaya melalui program penyuluhan terpadu.

Menuju Sistem Produksi yang Aman dan Berdaya Saing

Dengan langkah-langkah penguatan pengawasan dan penerapan sistem produksi yang lebih ramah lingkungan, KKP berharap Indonesia dapat mempertahankan posisi sebagai produsen dan pengekspor udang yang kompetitif di pasar global, sekaligus menjadi contoh penerapan prinsip One Health di sektor kelautan dan perikanan.

Oleh: Oryssa Sathalica Pradianti - Mahasiswi Program Doktor pada Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan – IPB University

Advertisement
Advertisement