Setelah Djokosoetono meninggal dunia, Fatimah memutar otak untuk mencari cara agar kebutuhan sehari-hari keluarganya tetap terpenuhi, termasuk pendidikan anak-anaknya. Bagi Fatimah, pendidikan adalah mutlak.
“Harta terbesar dalam hidup manusia adalah kepintaran, karena itu tidak bisa hilang atau dirampas," demikian prinsip Fatimah, dikutip dari situs resmi Blue Bird (6/8).
Dari sinilah, Ibu Fatimah mengusulkan kepada anak-anaknya untuk menjadikan dua mobil itu sebagai taksi. Saat itu, bisnis taksi Djokosoetono diberi nama Chandra Taksi. Purnomo dan Chandra pun ikut menyetir mobil untuk mengantarkan penumpang. Bisnis yang dijalankan Djokosoetono saat itu adalah pesanan taksi melalui telepon. Statusnya tentu saja masih ilegal.
Pada masa itu, taksi gelap cukup populer di Jakarta, karena tidak banyak penduduk Jakarta yang menggunakan mobil pribadi. Ali Sadikin selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu menetapkan peraturan, perusahaan taksi wajib mendaftarkan izin operasional.
Salah satu syaratnya adalah perusahaan harus memiliki sedikitnya 100 unit armada mobil taksi. Namun saat itu keluarga Djokosoetono hanya punya 60 unit mobil taksi, sehingga izinnya ditolak oleh DLLAJ DKI Jakarta.