Qais bahkan memperpanjang jatuh tempo utang. Jika ada orang yang memaksa untuk membayar utang, maka uang itu akan disedekahkan dan dihadiahkan. Namun suatu kali, Qais menyadari kekeliruannya dalam menolak pembayaran utang dari orang-orang.
Suatu saat ia jatuh sakit hingga harus terbaring selama beberapa hari. Namun, baru satu dua orang saja yang menjenguknya. Padahal, biasanya ketika ada orang yang sakit, tetangga dan rekan akan berduyun-duyun datang menjenguk.
Qais lantas mencari tahu apa sebab orang-orang segan menjenguknya. Salah satu di antara yang ia tanya akhirnya berterus terang, “Sungguh mereka malu, karena masih memiliki tanggungan utang yang belum dibayarkan kepadamu,”
Saat mendengar jawaban ini, Qais sungguh terkejut. Rupanya pinjaman yang ia niatkan untuk diberi cuma-cuma itu, masih dianggap sebagai utang oleh sang peminjam. Qais menyadari kekeliruannya ini dan berkata:
“Alangkah buruknya hartaku yang mencegah saudara-saudaraku untuk mengunjungiku,”