Filsa juga bercerita saat itu kedua orang tuanya sering menelepon untuk menanyakan kabar mengenai kelancaran bisnis yang Filsa jalankan. Filsa pun menjawab ‘lancar’ meskipun kenyataannya ia tengah berada di kesulitan. Ia bahkan pernah terpaksa memberi anaknya teh sebagai pengganti susu.
Sempat merasa terpuruk dan hidupnya sulit karena lilitan hutang yang mencapai ratusan juta rupiah, sudah mencoba bisnis makanan namun terus merugi. Dengan sisa uang Rp100.000 yang ia punya, ia memberanikan diri untuk berjualan peyek.
Di awal penjualannya, memang tidak seberapa hanya cukup untuk membeli beras dan susu. Filsa pun harus memutar otak dan berpikir untuk memodifikasi peyeknya. Hingga pada akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang ia sapa dengan Koko Lim.
Koko Lim mengajarkan Filsa untuk menerapkan diferensiasi produk. Lalu ia menyadari potensi kepiting sebagai produk bisnis, karena Balikpapan terkenal dengan kepitingnya yang enak dan harga yang terbilang murah.
Tak disangka, inovasinya ini disambut baik oleh teman-temannya. Filsa pun terus mengembangkan bisnis peyek kepiting yang ia beri nama Peyek Kepiting Kampung Timur ini. Seiring berjalannya waktu, bisnisnya semakin besar dan bisa membuka cabang di Yogyakarta sebagai bentuk ekspansi bisnis di pulau Jawa.